Thursday, July 24, 2008

Baliho*

Selain udara, air, bunyi bising yang repetitif, ruang publik yang tercemar adalah ruang publik yang dijejali oleh kepentingan massif memperkenalkan orang, barang, institusi, atau unsur komoditif lainnya dengan tujuan meraih ekspektasi positif publik.

Salah satu media yang sering digunakan sebagai alat memperkenalkan itu bernama baliho. Media dengan ukuran fisik jauh lebih besar dibanding media-media konvensional lain seperti koran, spanduk, billboard, neonsign, poster, atau selebaran (flyer, sticker). Dimensi ukuran menjadi indikator pencitraan.

Dalam konteks ini yang terjadi adalah, seperti yang disebut Walikota Sao Paulo, Brazil, Gilberto Kassab sebagai polusi visual (Business Week, 18/06/2007). Selain Sao Paulo, “Clean City” dari iklan dan alat peraga kampanye politik juga diterapkan dibeberapa titik protokoler ruang publik Jakarta (Suara Karya, 11/08/2008). Ilustrasi Sao Paulo No Logo yang bersih dari polusi visual itu diabadikan dengan baik oleh juru potret, Tony De Marco (lihat http://www.flickr.com/photos/tonydemarco/sets/72157600075508212/)



Dunia citra menciptakan narsisme baru yang hegemonik. Realitas sosial yang cenderung vandalistik ini tumbuh bersama pencapaian mutakhir teknologi cetak dan membuat hari-hari ini ruang publik kita (baca: kota Palu) disesaki oleh alat-alat peraga pencitraan sebagai polutan-polutan baru yang menghiasi kota. Situasi chaotic itu diperparah oleh realitas politik kita terkini yang memberi peluang bagi terciptanya polusi visual diruang-ruang publik, jauh sebelum kontes politik nasional (Pemilihan Umum) dilaksanakan tahun depan (lihat bab VIII tentang kampanye, UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, DPRD).

Realitas diatas mengindikasikan bahwa perkembangan baru dunia pencitraan membuat siapa saja aktor yang berkepentingan dengannya harus benar-benar memikirkan efektifitas pencitraan, dengan harapan dampak positif publik hadir sebagai umpan-balik (feedback) dan setelahnya menjadi memori kolektif.

Namun apakah kemudian publik teredukasi, well-informed, menjadi individu-individu otonom dan demokratis untuk memilah-milih keputusan politik atau konsumsi barang-jasa oleh pesan-pesan moral, himbauan, ajakan, jejak-rekam orang yang dipampang dibaliho atau media-media pencitraan lainnya? Ini belum lagi soal pilihan redaksional pencitraan yang, misalnya, berbahasa asing, kadang salah tulis, sesekali naïf.

Di jalan Mohamad Hatta sebuah plang kecil ditulis “Kawasan Bebas Spanduk”. Cara ini efektif. Tak ada spanduk yang bergelayutan disepanjang jalan itu hingga jalan Djuanda. Sayangnya, plang itu hanya untuk kategori spanduk. Baliho, neon sign, dan media lainnya tidak termasuk.

Dinamika kota membuat anasir polutif pada lingkungan (udara, air, suara) absurd untuk dihentikan. Cara alternatif untuk menekan tingkat pencemarannya adalah dengan pengelolaan kawasan hijau perkotaan. Sebaliknya pada polusi visual diruang publik, seperti pada contoh ketika kawasan bebas spanduk seperti yang diurai sebelumnya bisa dilakukan.

Pencitraan memang penting bagi yang membutuhkan. Tapi yang jauh lebih penting dari itu adalah pencitraan yang tidak polutif. Dan itu mengandaikan prasyarat adanya perbuatan kongkrit bagi publik. Ini kalau kita sama-sama bersepakat bahwa ruang publik adalah ruang yang fungsi dan manfaatnya digunakan sepenuhnya untuk kepentingan publik/warga dan bukan untuk seseorang ataupun kelompok-kelompok tertentu.

*) Tulisan ini dimuat oleh surat kabar harian Media Alkhairaat pada Jumat, 18 Juli 2008

Inset: foto-foto Tony De Marco (Sao Paulo No Logo)

Postingan Sebelumnya..