Catatan pengantar German Cinema 2014
di Palu
BIOSKOP di Palu mati ketika abad berganti. Milenium. Itu jika penanda
akhirnya adalah Palu Studio, bangunan dengan tiga studio berkapasitas masing-masing
222 tempat duduk itu. Bioskop yang sebenarnya berjejaring dengan grup 21 dalam
soal distribusi film itu hanya bertahan 9 tahun, sejak beroperasi bulan Agustus
1991.
Jauh sebelum Palu Studio, Kota Palu telah punya sejarah panjang
bioskop. Sebuah foto milik Tropenmuseum Belanda menyebut sebuah bioskop di Paloe bernama
Elite, bertitimangsa 1920. Elite menjadi cikal-bakal bioskop di Palu yang
timbul tenggelam dengan beragam nama: Fujiyama, Istana, Karya, Surya. Gedung Manggala milik TNI/AD dulu ABRI yang hari
ini telah berubah fungsi menjadi gedung serbaguna untuk acara pernikahan dan
konser musik, di era 80an adalah gedung bioskop yang ditata amphiteater. Di era
ketika Soeharto masih berkuasa, gedung itu telah jadi saksi pemutaran rutin
tahunan setiap akhir bulan September film Pengkhianatan G30S/PKI (1984) karya Sutradara
Arifin C. Noer, dan saksi bagi baik buruknya nilai murid untuk pelajaran
Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) di sekolah dasar.
Gedung Manggala Cakti, 1971 |
Itu belum Kota Donggala dan di sepanjang Pantai Barat di kabupaten itu
yang dahulunya juga punya sejarah yang tak kalah panjangnya perihal bioskop.
Terlebih Banawa, ibukota Donggala yang dahulunya ramai oleh sibuk pelabuhan. Donggala
tentu lebih panjang kisah dinamika sosialnya dari Palu yang menjadi salah satu
kecamatannya, sebelum pada akhirnya mekar menjadi kota administratif di rentang
antara tahun 1974 hingga 1978.
Di Tanjung Padang, Sirenja, kampung Sineas Yusuf Radjamuda melewati
masa kecilnya, sebuah bioskop telah ikut memberi pengaruh besar pada sejarah sosial
kampung. Film-film produksi Bollywood yang diputar di sana telah menjadikan
beberapa nama kawan sebayanya diberi nama orang tua mereka, nama-nama yang
identik India. Kumar, untuk menyebut salah satunya.
Dalam sebuah wawancara dengan pengelola bioskop Palu Studio yang tidak
ingin disebutkan namanya, sebuah gambaran bisnis bioskop diterangkan. Agar bisa
bertahan, menurutnya, investasi saham mesti fifty-fifty
agar sama-sama merasa memiliki bisnis yang dijalani. Nama Palu Studio itu lahir
karena besar saham lebih dimiliki investor lokal. Saham sisanya hanya jaringan
distribusi film dan promosi. Masa itu pita film-film box office dijadwalkan. Terminator 1 yang booming, sold out selama 1 minggu pemutaran di dua studio. Tapi
jadwal hanya seminggu, padahal animo penonton masih besar. Film Indonesia mati
suri. Produksi film nasional masa itu hanya hantu-hantu sexy. Sayangnya kebangkitan
film nasional pasca Petualangan Sherina (Riri Riza, 2000) dan Ada Apa Dengan
Cinta (Rudi Soedjarwo, 2002) tak bisa bikin Palu Studio kembali buka layar. Film-film
sebelum Palu Studio gulung layar adalah film-film mandarin. Di waktu yang
bersamaan, peminjaman film dan film-film bajakan marak di pinggir jalan dalam
bentuk cakram.
Hari ini Kota Palu memang tak lagi punya gedung bioskop. Jika pun ada
pemutaran-pemutaran film, yang lebih sering ilegal karena tak dapat restu
rumah produksi, didorong oleh beragam motif: bisnis, semangat mengapresiasi,
atau kombinasi dari dua hal itu. Pilihan tempatnya hanya di gedung pertunjukan
Taman Budaya atau di Madamba Pura punya RRI.
Untungnya kota ini punya bioskop dalam arti yang lain, yang menjelma
menjadi apa saja yang berbau bioskop: memutar film, mendiskusikannya, berjejaring
dengan komunitas seminat di luar kota, mencatat gejala yang timbul olehnya, mengajak
warga kota untuk tak sekadar mengapresiasi film sebagai hiburan belaka, tetapi
juga refleksi bersama bagi interaksi di antara sesama mereka yang menonton film,
bahkan menjadi tempat memberi stimulus dan tantangan buat beberapa yang sering
terlibat untuk melahirkan karya serupa: film. Mereka menamakan keisengan itu
sebagai Bioskop Jumat yang awalnya bersepakat untuk punya ritus bersama di
setiap jumat malam untuk menonton. Lalu tak lagi hari jumat dan menjadikan
setiap malam bisa menjadi bioskop.
Tetapi untungnya ada Bioskop Jumat yang mulai besok (26/8) kembali bekerjasama dengan lembaga kebudayaan Jerman, Goethe Institut, untuk kali kedua setelah tahun 2013 lalu, akan memutar film-film terbaik Jerman selama 3 hari di gedung auditorium Madamba Pura RRI setiap jam 14.00, 16.00, dan 19.30. Kerinduan pada suasana bioskop yang gelap dan dingin akan coba kembali disuguhkan untuk menyegarkan kenangan mereka yang pernah merasakan. Mari datang menonton dan mengapresiasi film. Gratis!
Tantangan terbesar Bioskop Jumat adalah nyamuk, yang seringkali jadi penonton lain di manapun pemutaran film yang mereka lakukan.
Sumber:
- Sejarah Daerah Sulawesi Tengah, Anhar Gonggong dkk, 2005, Palu.
- Tropenmuseum
- Slide foto Aziz Larekeng (alm)
- http://shw.affando.fotopages.com/6164858/Palu-Studio21.html
ternyata bioskop yang mati bukan hanya dijakarta, di pulu pun sama
ReplyDelete