Monday, August 25, 2014

Bioskop Palu: Dulu dan Sekarang

Catatan pengantar German Cinema 2014 di Palu

BIOSKOP di Palu mati ketika abad berganti. Milenium. Itu jika penanda akhirnya adalah Palu Studio, bangunan dengan tiga studio berkapasitas masing-masing 222 tempat duduk itu. Bioskop yang sebenarnya berjejaring dengan grup 21 dalam soal distribusi film itu hanya bertahan 9 tahun, sejak beroperasi bulan Agustus 1991.


Jauh sebelum Palu Studio, Kota Palu telah punya sejarah panjang bioskop. Sebuah foto milik Tropenmuseum  Belanda menyebut sebuah bioskop di Paloe bernama Elite, bertitimangsa 1920. Elite menjadi cikal-bakal bioskop di Palu yang timbul tenggelam dengan beragam nama: Fujiyama, Istana, Karya, Surya.  Gedung Manggala milik TNI/AD dulu ABRI yang hari ini telah berubah fungsi menjadi gedung serbaguna untuk acara pernikahan dan konser musik, di era 80an adalah gedung bioskop yang ditata amphiteater. Di era ketika Soeharto masih berkuasa, gedung itu telah jadi saksi pemutaran rutin tahunan setiap akhir bulan September film Pengkhianatan G30S/PKI (1984) karya Sutradara Arifin C. Noer, dan saksi bagi baik buruknya nilai murid untuk pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) di sekolah dasar.

Gedung Manggala Cakti, 1971
Itu belum Kota Donggala dan di sepanjang Pantai Barat di kabupaten itu yang dahulunya juga punya sejarah yang tak kalah panjangnya perihal bioskop. Terlebih Banawa, ibukota Donggala yang dahulunya ramai oleh sibuk pelabuhan. Donggala tentu lebih panjang kisah dinamika sosialnya dari Palu yang menjadi salah satu kecamatannya, sebelum pada akhirnya mekar menjadi kota administratif di rentang antara tahun 1974 hingga 1978.

Di Tanjung Padang, Sirenja, kampung Sineas Yusuf Radjamuda melewati masa kecilnya, sebuah bioskop telah ikut memberi pengaruh besar pada sejarah sosial kampung. Film-film produksi Bollywood yang diputar di sana telah menjadikan beberapa nama kawan sebayanya diberi nama orang tua mereka, nama-nama yang identik India. Kumar, untuk menyebut salah satunya.

Dalam sebuah wawancara dengan pengelola bioskop Palu Studio yang tidak ingin disebutkan namanya, sebuah gambaran bisnis bioskop diterangkan. Agar bisa bertahan, menurutnya, investasi saham mesti fifty-fifty agar sama-sama merasa memiliki bisnis yang dijalani. Nama Palu Studio itu lahir karena besar saham lebih dimiliki investor lokal. Saham sisanya hanya jaringan distribusi film dan promosi. Masa itu pita film-film box office dijadwalkan. Terminator 1 yang booming, sold out selama 1 minggu pemutaran di dua studio. Tapi jadwal hanya seminggu, padahal animo penonton masih besar. Film Indonesia mati suri. Produksi film nasional masa itu hanya hantu-hantu sexy. Sayangnya kebangkitan film nasional pasca Petualangan Sherina (Riri Riza, 2000) dan Ada Apa Dengan Cinta (Rudi Soedjarwo, 2002) tak bisa bikin Palu Studio kembali buka layar. Film-film sebelum Palu Studio gulung layar adalah film-film mandarin. Di waktu yang bersamaan, peminjaman film dan film-film bajakan marak di pinggir jalan dalam bentuk cakram.

Hari ini Kota Palu memang tak lagi punya gedung bioskop. Jika pun ada pemutaran-pemutaran film, yang lebih sering ilegal karena tak dapat restu rumah produksi, didorong oleh beragam motif: bisnis, semangat mengapresiasi, atau kombinasi dari dua hal itu. Pilihan tempatnya hanya di gedung pertunjukan Taman Budaya atau di Madamba Pura punya RRI.

Untungnya kota ini punya bioskop dalam arti yang lain, yang menjelma menjadi apa saja yang berbau bioskop: memutar film, mendiskusikannya, berjejaring dengan komunitas seminat di luar kota, mencatat gejala yang timbul olehnya, mengajak warga kota untuk tak sekadar mengapresiasi film sebagai hiburan belaka, tetapi juga refleksi bersama bagi interaksi di antara sesama mereka yang menonton film, bahkan menjadi tempat memberi stimulus dan tantangan buat beberapa yang sering terlibat untuk melahirkan karya serupa: film. Mereka menamakan keisengan itu sebagai Bioskop Jumat yang awalnya bersepakat untuk punya ritus bersama di setiap jumat malam untuk menonton. Lalu tak lagi hari jumat dan menjadikan setiap malam bisa menjadi bioskop.

Tidak seperti ibukota propinsi lainnya di pulau Sulawesi macam Makassar, Manado, Kendari, atau Gorontalo yang baru saja buka bioskop pada Mei 2014 lalu, hari ini Palu tak lagi punya bioskop. Pertimbangan bisnis rasanya menjadi yang utama dalam soal itu. Mungkin berkaitan dengan jumlah penduduk atau daya beli dari jumlah itu terhadap hiburan khususnya menonton film di bioskop. Hal yang sama berlaku juga dengan bisnis lain macam toko buku berjejaring, waralaba, franchise.


Tetapi untungnya ada Bioskop Jumat yang mulai besok (26/8) kembali bekerjasama dengan lembaga kebudayaan Jerman, Goethe Institut, untuk kali kedua setelah tahun 2013 lalu, akan memutar film-film terbaik Jerman selama 3 hari di gedung auditorium Madamba Pura RRI setiap jam 14.00, 16.00, dan 19.30. Kerinduan pada suasana bioskop yang gelap dan dingin akan coba kembali disuguhkan untuk menyegarkan kenangan mereka yang pernah merasakan. Mari datang menonton dan mengapresiasi film. Gratis!

Tantangan terbesar Bioskop Jumat adalah nyamuk, yang seringkali jadi penonton lain di manapun pemutaran film yang mereka lakukan.


Sumber:
- Sejarah Daerah Sulawesi Tengah, Anhar Gonggong dkk, 2005, Palu.
- Tropenmuseum
- Slide foto Aziz Larekeng (alm)
- http://shw.affando.fotopages.com/6164858/Palu-Studio21.html 

1 comment:

  1. ternyata bioskop yang mati bukan hanya dijakarta, di pulu pun sama

    ReplyDelete

Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya

Postingan Sebelumnya..