Monday, October 19, 2009

Tiga Masa Masomba

Seberapa penting Masomba bagi saya? Penting! hampir setiap hari saya datang ke Pasar yang ada karena Instruksi Presiden itu untuk belanja kebutuhan dapur dan kedai. Jaraknya yang dekat (kurang lebih 300an meter dari rumah) membuat pasar tradisional itu menjadi pilihan utama tempat saya belanja juga sebagian besar warga di Selatan dan Timur Palu.

Pada Jumat siang hingga malam (16/10/09) bagian tengah, inti bangunan pasar itu terbakar hebat. Hampir seluruh petak-petak bangunan terbakar. Padahal belum cukup setahun ketika pasar itu dilahap api (28/12/2009).

Semrawut, Becek, Bau. Khas pasar-pasar tradisional yang seringkali saya temui. Saya membayangkan sebuah pasar tradisional yang nyaman, Masomba yang tidak semrawut, tidak becek, tidak bau pasca kebakaran.

Saya tidak sedang membayangkan sebuah relokasi Masomba.

Saya mengamini istilah dalam ilmu ekonomi: mekanisme pasar. Interaksi-interaksi manusia dan barang yang berlaku disana berjalan dengan sendirinya. Membentuk habit. Itupula yang kayaknya juga terjadi pada pengelolaan pasar tradisional. Meminjam analisa Marco Kusumawijaya, pakar yang concern pada tema-tema urban, pasar mendorong terbentuknya kota.

Saya membayangkan sebuah hilir dari kerjasama yang baik antara pengelola pasar dan utamanya para penjual. Kerjasama yang bermuara pada pembeli adalah raja.



Kebakaran di Pasar Masomba (28/12/2008) yang menghabiskan sebagian bangunan dan los penjual di sisi utara pasar.



Dua bagian kontras Pasar Masomba. Pada saat normal (gambar diabadikan oleh Eddie Muchiddin pada 24/05/2009), dan pasca kebakaran dahsyat (16/10/2009) yang melahap bagian inti pasar berisi los penjual ikan, daging, sayur-mayur, grosir, dan alat-alat dapur (gambar diambil sehari setelahnya, 17/10/2009).

No comments:

Post a Comment

Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya

Postingan Sebelumnya..