Tuesday, October 2, 2012

GEOPOLITIK


SAYA pernah jadi dosen luar biasa selama satu semester untuk mata kuliah Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Tadulako. Dalam sebuah kesempatan berdiskusi di ruangan kuliah dengan mahasiswa semester akhir, saya menunjuk secara acak, meminta pada salah seorang mahasiswa, menjelaskan tentang siapa dia. Terserah akan mulai dari mana penjelasan soal kediriannya itu. Permintaan saya itu terkait dengan tema kuliah kami saat itu, geopolitik. Dan mahasiswa itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Kemudian saya meminta kerelaan mahasiswa yang lain untuk memulai diskusi kami itu. Tak ada. Saat itu yang ada di pikiran saya kemudian adalah pertanyaan-pertanyaan, apakah mahasiswa segan –untuktidak mengatakan takut menyampaikan pendapat, atau mahasiswa tak paham geopolitik itu apa. Saat itu saya hanya ingin tahu sejauhmana orang memahami keber-ada-annya: kesehariannya, lingkungannya, yang menurut saya penting sebagai upaya memahami hal yang ada di luar dirinya. Pendeknya, geopolitik secara sederhana –sekalipun tak sesederhana yang saya maksud, adalah kemampuan memahami keberadaan diri dan letak dan yang melingkupi diri dan letak itu sejak rukun tetangga sebagai lingkup sosial terkecil domisili, hingga dunia yang hari ini oleh teknologi menjadi sudah tak lagi berbatas.

Pendeknya lagi, diskusi itu hanya ingin mengarah pada hal-hal sederhana, orang tahu nama jalan/gang rumahnya, nomor rumahnya, siapa tetangganya, nomor rukun tetangganya, rukun warganya, bagus kalau orang tahu siapa ketua rt dan rw-nya, namanya, termasuk nama kelurahannya atau desa, di mana kantor lurah atau desanya itu, kecamatannya, kantor a, b, c, untuk urus a, b, c, dan seterusnya, kantor kepala daerahnya dan kantor dprd sebagai wakil-wakil mereka. Semua hal-hal yang sederhana, bukan?

Secara serius geopolitik seringkali diidentikkan menjadi apa yang dikenal sebagai wawasan nusantara. Tulisan saya tak hendak menjelaskan panjang lebar dan dalam perihal tema yang di masa orde baru berkuasa itu malah digunakan untuk menyeragamkan keberagaman, padahal secara konseptual, geopolitik Indonesia yang jadi wawasan nusantara itu mengakui keberagaman kebudayaan dan keyakinan warganya, juga keberagaman dimensi alamnya.

Itu karena pemahaman geopolitik itu belum lagi masuk ke hal-hal yang lebih khusus, misalnya tentang batas dan potensi kewilayahan sejak rumah, kantor, kelurahan atau desa, kota atau kabupaten, propinsi, negara, pulau, kawasan, benua, dunia, dan bla bla bla… 

Pertanyaannya kemudian, misalnya buat seorang ibu rumah tangga, atau tukang ojek, atau penjual ikan di pasar, apa gunanya geopolitik? Sepintas lalu rasanya memang tak penting. Orang suka meyakini peribahasa bijak itu, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Menurut saya peribahasa yang anonim itu tak sekadar praksis orang bisa hidup di mana saja. Kemampuan beradaptasi secara sosial adalah pemahaman geopolitik yang secara tak sadar ada di masing-masing orang. Agar bisa diterima dan mengaktualisasikan diri di sebuah lingkungan, hal pertama yang menjadi serupa syarat mutlak adalah kamu harus mengenal dengan baik lingkungan dan termasuk tetangga-tetangga di empat penjuru arah mata angin darimu, bukan? Soal kamu selanjutnya bisa akrab dan berinteraksi, saya pikir itu soal pilihan.

ada di mana kamu di peta ini, sayang? dan tahukah bahwa kamu adalah pusat? :)

Itulah mengapa situasi yang digambarkan di atas akan sedikit berbeda dengan biasanya kearifan lokal milik masyarakat adat, yang jauh dari pusat kekuasan ekonomi dan politik di kota. Pengetahuan geopolitik masyarakat adat yang juga hadir sebagai bawaan itu biasanya tercermin dari pemahaman mereka atas sejarah tempat mereka bermukim dan bagaimana mereka menyikapinya dengan perilaku sehari-hari.

Mereka tak paham geopolitik sebagai konsep akademik yang serius itu, tapi mereka paham dan serius soal bagaimana berinteraksi dengan saudara se ngata (kampung), tetangga, bagaimana memperlakukan tamu yang datang, memperlakukan tanah, sungai, hewan, tumbuhan, sebagai sebuah sistem yang saling berkait dan menjadi bagian dari keseharian. Sekalipun demikian, sayangnya nilai-nilai lokal di beberapa tempat itu juga banyak yang digerus oleh perubahan zaman, dan di tengah perubahan itu orang-orang terlihat gagap, termasuk pada orang-orang kota, pada urban.

Kesadaran atas pemahaman geopolitik adalah bagian dari literasi juga, kemampuan “membaca” kapasitas yang ada pada diri dan di sekitar keseharian diri itu, potensinya maupun kerentanannya.

Sebagai hewan politik (zoon politicon) membuat seorang tukang ojek yang cerdas secara geopolitik tentu saja paham, dimana dia harus mangkal dan membentuk konvensi bersama kolega sesama ojek untuk mendistribusikan rezeki pengguna jasa mereka, membentuk sebuah harmoni sosial baru yang seringkali tidak tertulis. Ibu rumah tangga paham, misalnya, secara letak, rumah tempat dia tinggal berada di kerentanan-kerentanan (bencana), jika terjadi sesuatu hal karena kerentanan-kerentanan itu, antisipasi sudah dipikirkan dan didiskusikannya dengan anggota keluarganya, sebagai upaya mengurangi risiko. Yang jual ikan paham jika urus apa-apa misalnya untuk urus pinjaman bank untuk usahanya karena harus ada legalisasi kependudukan, tahu harus kemana, misalnya ke kelurahan, syarat-syarat yang biasanya ditanyakan pegawai kelurahan dia punya dan siapkan: surat pengantar dari ketua rt, pajak bumi bangunan, dan seterusnya. Tiga dari mereka itu merasa punya hak ketika ada forum warga dilibatkan, memberikan pendapat, masukan, mengoreksi.       

Kalau sebuah kota kita posisikan sebagai diri, geopolitik akan membuat sebuah kota dituntut untuk memahami kapasitasnya, kemampuannya, kelemahannya, apa yang dia punya dan yang tidak dipunyai kota, agar dengan begitu kota menjadi bisa memahami kediriannya untuk tetap berkembang di tengah perubahan dan kenyataan bahwa ada diri-diri lain, kota-kota tetangga yang juga berbenah di tengah perubahan yang terjadi. Orang-orang  yang tinggal di kota itu adalah kesatuan geopolitik. Anggap saja ini duga-duga. Semakin tinggi tingkat kesadaran kritis geopolitik warga sebuah kota, akan berdampak pada semakin baik pula kota itu berkembang. Apa maksud kata “baik” itu? bagi saya, kota-kota akan menjadi lebih ramah dan humanis, dan bukan sebaliknya, sangar dan kasar, terlebih pada yang minoritas. 

Namun seiring itu, saya juga suka bertanya-tanya, ketika wilayah dengan batas-batas tegas, kota-kota memahami geopolitiknya dan  karenanya berkompetisi dalam biasanya rumusan visi sebagai yang terdepan, termaju dan ter ter lainnya, wilayah tertentu, kota-kota, kemudian menjadi tidak bersahabat dalam kompetisi. Ukuran-ukuran “paling” bla bla bla sebagai visi itu tak lagi berada dalam tujuan-tujuan bersama di luar dirinya, pada wilayah lain dalam konteks yang lebih besar (bangsa), dan dalam dirinya, pada warga Yang Lain (the others).

Kesadaran geopolitik bagi saya akan membuat orang menjadi lebih peduli pada tujuan-tujuan, kesepakatan bersama, kontrak sosial yang seringkali konvensional, tidak tertulis, kenapa harus berkomunitas, bermasyarakat, kenapa harus bernegara-bangsa, bahkan apa pentingnya sadar menjadi warga dunia, dengan misalnya, mengerti ada hubungan empati kemanusiaan antara seseorang yang tinggal di sebuah gang sempit di Kota Palu dengan seorang Rohingya yang sedang dalam kecemasan konflik sosial di Myanmar. Dan empati itu bisa berdampak. Geopolitik mempertanyakan semua soal-soal di atas dengan kritis.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan mengajukan soal perihal geopolitik dengan apa yang terjadi dan dekat dengan saya sekarang. Hari ini, Kota Palu sudah pecah menjadi 8 kecamatan, dari yang sebelumnya 4. Apa pesan geopolitik dari perubahan itu? ketika luas wilayah tak bertambah, membuat jumlah kelurahan di masing-masing kecamatan menjadi lebih sedikit?

Sedikit ilustrasi dari sana adalah, beberapa dari kita optimis bahwa pemekaran wilayah itu adalah kecakapan geopolitik, pemerintah menjadi lebih fokus mengorganisir urusan kependudukan dan sosial yang semakin dinamis. Namun bersamaan dengan optimisme itu kecemasan laten beriring. Hanya karena beda jembatan, batas kelurahan, sebuah harmoni sosial dengan mudah berubah jadi disharmoni. Saya tak ingin menjawab pertanyaan ini, karena kekahwatiran jawaban saya jadi penyeragaman. Saya mengembalikan pada khalayak pembaca yang budiman dimana posisi Saudara-Saudari sekalian dalam perubahan itu. Harapan saya hanya agar kita tidak menggeleng-gelengkan kepala saja. 

No comments:

Post a Comment

Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya

Postingan Sebelumnya..