Sunday, May 13, 2012

EMPATI


ehow.com, connection humanity on empathy


KATA empati, serapan yang asalnya dari bahasa Inggris, Empathy itu memang sudah diadopsi sebagai bahasa nasional dan masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Arti kata itu dalam KBBI adalah kemampuan menghadapi perasaan dan pikiran orang lain.

Hari-hari ini, bahkan mungkin sudah lama, ada gejala ketika kata-kata kehilangan makna. Serupa mantra, kata itu tak lagi punya daya. Hanya sekadar kata, sekadar bunyi, tanpa definisi.

Contoh makna kata yang hilang itu ada pada saat saya sedang memikirkan apa yang akan saya tuliskan minggu ini. Saya berhadapan dengan situasi ketika banyak pesan berantai yang dikirimkan kerabat, kawan, isinya tentang berita pesawat Sukhoi yang jatuh itu.

Bukan soal beritanya. Soalnya ada pada empati, kemampuan menghadapi perasaan dan pikiran orang lain atas isi berita Sukhoi itu. Saya yakin kita bersepakat bahwa pesawat jatuh itu adalah tragedi dan bukan parodi, upaya mencari sisi lain yang jenaka dari tragedi. Muncul gejala anekdotal yang berkesan kreatif, dengan begitu seolah jadi alternatif, menyikapi tragedi. Ada cerita, ada gambar. Termasuk pada berita Sukhoi yang jatuh itu.

Saya tidak sedih, misalnya sampai harus menitikkan airmata atas kejadian Sukhoi yang jatuh itu. Tak ada keluarga atau kerabat saya yang jatuh di pesawat itu. Sekalipun begitu, ada sesuatu yang entah apa namanya dalam diri saya yang membetik bertanya-tanya tanpa tendensi harus dapat jawaban: bagaimana dengan keluarga dari orang-orang yang ada dalam pesawat itu, apa yang mereka rasakan saat itu. Naluri dasar yang menerabas batas-batas biologis dan geografis. Karena sesama manusia dan imaji . Dalam konteks ini, media kerap hadir dan tidak jarang lebay, berlomba-lomba mengeksplorasi rasa sedih untuk tujuan eksklusif.

Saya dapat tanggapan balik dari situasi ini dengan, “tak perlulah terlalu serius, terlalu sedih, terlalu sok ini, sok itu”. Ya, saya pikir ada benarnya tanggapan balik itu. Realitas sosial politik kita yang macet ini seringkali lebih mujarab dihadapi dengan parodi. Tapi bagi saya ada hal-hal yang tak bisa ditoleransi dengan parodi. Salah satunya adalah tragedi.

Ada banyak cerita soal parodi, tragedi, dan empati ini. Misalnya penggunaan kata autis untuk urusan main-main. Pernah ada kecaman untuk parodi atas berita gempa dan Tsunami Simeulue yang baru saja terjadi. Akan ada banyak orang kritis yang siap meniupkan sempritannya karena ketidaktahuan itu.

Saya paham ada gejala baru ketika perangkat teknologi (gadget) membuat relasi sosial kita begitu lengket. Pesan yang entah dari mana asalnya, anonim pula, karena unik, dapat terkirim berantai dari satu orang ke orang yang lain dengan begitu cepat. Semoga model parodi pada tragedi yang tanpa empati ini sekadar gejala saja karena persoalan ketidaktahuan, dan bukan karena kita memang sudah tidak lagi punya empati.
Dan selemah-lemahnya sikap dalam tragedi adalah diam. Saya merasakan ini sebagai bentuk lain banalnya diri yang harusnya dikritisi oleh diri saya sendiri. Tapi saya tidak ingin ikut-ikutan sadar untuk tidak berempati.


collective-thoughts.com

2 comments:

Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya

Postingan Sebelumnya..