Sunday, May 13, 2012

STUDI BANDING


PELESIR alias jalan-jalan, bersenang, tanpa disadari kadang memang jadi lebih substansi dari tujuan utama dalam sebuah kegiatan serius seperti studi banding.

Bersenang dalam sebuah perjalanan adalah salah satu modus psikis purba yang ada pada sebagian besar manusia selain makan, minum, dan memenuhi kebutuhan biologis. Gejala yang hadir karena komodifikasi kebendaan, rasa ingin tahu (kuriositas) pada tempat-tempat baru dan asing, dan status sosial itu membuat setiap perjalanan selalu ada penanda khasnya. Berbelanja, mengabadikan perjalanan, termasuk mencatatnya, adalah beberapa perilaku yang merespon gejala itu.

Muncul soal. Bagaimana dengan perjalanan yang konteksnya adalah studi banding, yang biayanya bukan dari uang pribadi? 

Inilah yang kemudian ditunjukkan oleh mahasiswa Indonesia di Jerman yang tergabung dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI), yang menolak kedatangan 10 anggota DPR RI dari komisi 1 yang membidangi pertahanan, luar negeri, dan informasi (24/4), dengan melakukan aksi walkout dari acara ramah tamah di gedung KBRI dengan para wakilnya yang datang jauh-jauh dari Jakarta itu. Aksi penolakan itu segera tersiar dan di respon publik melalui media massa, khususnya media sosial internet yang berbasis audiovisual, Youtube.

Beberapa hal dikeluhkan. Dari soal pemborosan anggaran Rp. 3,1 miliar, soal bawa rombongan termasuk keluarga dalam perjalanan, soal urgensi studi banding, soal transparansi, soal pelesir. 10 anggota DPR itu akan studi banding tentang alat utama sistem senjata (alutsista).

Soal-soal yang kompleks. Tapi satu hal, bahwa opini publik mengarah pada kegiatan studi banding yang secara konseptual sebenarnya dibutuhkan sebagai referensi pembanding itu tetap saja tak populis, seperti kritik para mahasiswa di atas.

Teknologi informasi hari ini, meminjam istilah Yasraf Amir Piliang, penulis buku-buku kebudayaan itu, telah melipat batas-batas geografis dunia. Rekaman yang dikirimkan para mahasiswa di Jerman yang melakukan aksi walkout itu contohnya. Rekaman itu seakan memberitahukan hal lain terkait perjalanan para wakil rakyat yang mereka tolak itu, teleconference, cara murah berkomunikasi dan mendapatkan informasi, lintas ruang dan waktu.

Tapi selalu akan ada sanggahan politis dan diplomatis atas kritik itu. Bahwa kegiatan-kegiatan seperti studi banding itu telah jauh-jauh hari direncanakan dan untuk itu pula dianggarkan dan harus dilaksanakan. Kritik harusnya ada pada proses perencanaan. Tapi tak apalah. Sudah basah. Jika saya jadi anggota DPR yang dikritik itu, saya akan bilang bahwa tujuan utama saya adalah studi banding. Yang lain yang tidak utama adalah jalan-jalan, foto-foto, dan beli oleh-oleh buat keluarga di rumah yang tidak saya ikutkan. Boleh kan?

Tentu saja boleh. Tapi soalnya kemudian adalah saya bukan anggota dewan.


Gambar: formulablogger.com

No comments:

Post a Comment

Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya

Postingan Sebelumnya..