Mengenang Ipank Nocturno
Sebuah tanya dari kicau akun Twitter seorang kawan @Puthutea sehari sebelum
Metallica naik panggung (25/8). “Sebetulnya apa yang menarik dari Metallica?” Saya membalas
kicau itu: “kenangan”.
20 tahun lalu, April 1993, Metallica manggung di stadion Lebak Bulus
Jakarta. Berita-berita tentang konser itu hanya saya ikuti dari majalah remaja
Hai. Belum begitu jauh dari situ ketika saya menyukai band rock dari negeri Paman
Sam itu oleh seorang kawan yang telah berpulang. Namanya Ipank.
Sebagai anak jaksa yang kerja orang tuanya berpindah-pindah, Ipank datang
ke Palu dan membentuk sebuah band sekolah yang mereka beri nama Nocturno. Sebagai
penyanyi di band itu, referensinya hanya satu: Metallica. The Unforgiven pernah
dibuatnya menjadi koor dalam sebuah festival di Gedung Olah Raga Palu (1992) dan
membuat band bentukannya itu menjadi band favorit yang selalu saya kenang.
Dua intro yang selalu dimainkannya di saat-saat kami nongkrong dengan
gitar kopong, Fade to Black dan Enter Sandman. Serupa genit ketika kali pertama
pegang gitar dan belum sah rasanya bagi anak band jika tidak tahu memainkan intro
gitar lagu Scorpion Always Somewhere atau Love of My Life punya Queen. Saya minta
diajari kord lagu-lagu Metallica itu padanya, menghapal lirik-liriknya, lalu memainkannya
sendirian di depan kaca di dalam kamar, membayangkan menjadi Hetfield di atas
panggung yang ditonton teman-teman dan pujaan hati.
Jatuh cinta dan era pemberontakan masa muda dimulai. Pagi siang malam, dari dalam kamar yang terkunci hentakan Seek and Destroy, Blackened, One, Ride the Lightning, Master of Puppets, dan entah apa lagi hits Metallica sebelum album Load dan seterusnya, berdentam. Dinding kamar tak ketinggalan. dihiasi poster-poster Metallica formasi ketika basis Jason Newstead masih ada.
http://sphotos-e.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc6/262649_2102619454255_2159165_n.jpg |
Saat itu tak mungkin rasanya minta dibekali orang tua untuk datang ke
Jakarta hanya agar bisa nonton Metallica. Tapi mungkin sekali rasanya ketika 20
tahun kemudian pada tahun 2013 saya harus mewujudkannya. Serupa naik haji. Kali
ini harus datang dan mabrur. Massa berkeliling serupa tawaf mencari pintu-pintu
masuk dengan penjagaan ketat. Gerah, saya merasa harus membuka baju untuk ikut berguncang
dengan ribuan penonton yang berdiri di area festival, tak begitu jauh dari
bibir panggung.
Di Gelora Bung Karno (GBK), penonton dan Metallica sama-sama berbagi energi. Tak ada yang senja dari mereka. Permainan gitar dan aksi keliling panggung James Hetfield (50 tahun) dan Kirk Hammet (50 tahun) masih lincah. Begitu juga gebukan drum Lars Ulrich (49 tahun) yang masih bertenaga, stabil selama hampir dua jam lebih pertunjukan dan membawakan 20 lagu. Robert Trujillo yang telah menjadi basis ketiga setelah Cliff Burton dan Jason Newstead tak kalah gila, bak putaran gasing, rambut cacingnya yang headbanging di hampir setiap lagu bertempo cepat, tampak serupa gurita yang terluka.
Saya memantau informasi dari Wendy Putranto, wartawan Rolling Stone
Indonesia, metalhead yang datang ke GBK tak hanya dari pulau Jawa. Saya bertemu
beberapa kawan yang datang dengan rombongannya dari Makassar (@EvaMoa @ikoMd). Saya merasa
beruntung menjadi salah satu dari ribuan pasang mata yang ikut menyaksikan band
yang akan dan telah jadi catatan sejarah musik dunia itu.
Darkness imprisoning me
All that I see
Absolute horror
I cannot live
I cannot die
Trapped in myself
Body my holding cell
(Reffrain One, 1990)
Pintu festival dibuka pukul 17.00 |
Gelang event sebagai akses selain tiket |
Bertemu Ipang (@ipanglazuardi), vokalis BIP setelah konser |
Mabrur.... bwahahahaha...
ReplyDeleteWah, kita pernah berbagi ruang yang sama.
ReplyDelete