Tuesday, November 5, 2013

Sepenggal Palu dari Kamar 811


Laut terasa begitu dekat dari kamar 811 Hotel Santika. Jarak antara hotel itu dan pesisir teluk dari mistar Google Earth yang ditarik lurus ternyata tak sampai 2 km. Dari kamar di hotel itu laut serupa kolam besar yang airnya tenang, semakin ke utara semakin tak terlihat batasnya. 



Saya mengamati sekaligus menikmati beragam dimensi waktu dalam sehari dari kamar itu, sepenggal Palu: siang, senja, malam, dinihari, dan subuh yang perlahan berganti oleh terang matahari ketika hari berganti menjadi pagi. Dari kamar itu, imajinasi dan kecemasan datang silih berganti, ruang dan waktu seolah bertarung merebut perhatian. Sejuknya pendingin udara, seprei putih yang menggoda, dan acara-acara televisi yang tersaji 24 jam, bertarung dengan landskap tak biasa di luar sana dari bingkai jendela.   

Jika tsunami terjadi di teluk itu, air laut tentu sampailah ke daratan, mungkin bahkan ke tengah kota, ke tugu dengan bentuk aneh sebagai penanda titik nol kilometer kota di jalan Sultan Hasanuddin, tak begitu jauh dari hotel yang berada di jalan Mohamad Hatta itu. 



Di Bali, forum Pengurangan Risiko Bencana di sana telah bersepakat dalam nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) dengan hotel-hotel yang berada di sepanjang pesisir pantai. Jika tsunami terjadi, top roof hotel-hotel itu dapat diakses bebas oleh warga sekitar sebagai tempat evakuasi.  

Kita di Palu tentu tak berharap bencana alam itu terjadi. Tapi kita harus menerima kenyataan bahwa di dasar teluk yang indah itu sebuah patahan bumi (Palu Koro) bergerak aktif, sesekali mengirimi kita pesan dengan guncangan-guncangan kecilnya sebagai pemaknaan akan fenomena alam: gempa, yang pernah punya sejarah berubah jadi bencana.   

Dari ketinggian, kota memang selalu terlihat diam. Dari kamar itu, hijau masih terlihat lebih dominan. Pepohonan masih terlihat menutupi banyak bagian karena masih lebih tinggi dari sebagian besar bangunan. Terlebih pada bagian di seberang Hotel Santika yang dikenal orang sebagai Taman GOR, ruang terbuka hijau, ruang publik di tengah kota -selain Bundaran Nasional yang berada tak jauh dari situ. 



Mari kita bayangkan jika ruang-ruang publik yang hijau dan terbuka itu, pada suatu saat nanti, yang entah kapan, tak lagi hijau oleh pepohonan dan berubah fungsinya menjadi privat oleh kebijakan investasi dan penataan ruang. Gedung, tower, menggantikan beragam macam pepohonan yang tumbuh di situ, menjadi paru-paru kota, puluhan bahkan ratusan tahun. Kekhawatiran itu karena kota-kota cenderung selalu bergerak dengan cara yang seperti itu.

Agak lebih jauh ke timur, beberapa titik di bebukitan di Poboya terlihat serupa luka kering yang semakin hari semakin menganga. Pun di barat yang memanjang hingga ke arah Donggala. Beberapa titik di dua kutub kota itu, menjadi seperti itu karena gairah penambangan emas, pasir, dan batu.




Kota tentu tidak diam seperti yang terlihat dari kamar di lantai kedua tertinggi di hotel dengan 8 lantai itu -tidak ada lantai 4 di hotel itu. Orang-orang di kota akan selalu bertambah oleh kelahiran dan migrasi: harapan-harapan tentang dinamika urban dan masa depan. Begitupula bangunan dan apalagi kendaraan. Imajinasi untuk menghadapi perubahan-perubahan drastis kota dibutuhkan untuk menjadikan kota tetap nyaman dan memanusiakan. Dan bukan menjadi kota yang tragis dan mengenaskan: macet, polusi udara-suara-visual, hilangnya ruang-ruang publik yang terbuka dan hijau, kriminalitas, menjadi akrab dalam keseharian.




Dari kamar itu, yang saya bisa hanya memotret beberapa landskap sembari berdoa: Palu, semoga tidak sedang menuju kecemasan berkota, tapi berimajinasi untuk senantiasa memperbaiki yang ada pada dirinya.







Terima kasih buat manajemen Hotel Santika Palu yang telah mengundang saya dalam acara bookers gathering (4 September 2013) dan memberikan doorprize voucher diskon 50 persen.

Sunday, October 13, 2013

BORAS, KOTA SAMPAH NAN INDAH

SAMPAH ada di mana-mana, terlebih bagi kehidupan perkotaan yang seringkali menjadi masalah. Namun di Boras (diucapkan Buros), kota kecil di barat Swedia, sampah berubah menjadi berkah, bahkan mengatasi masalah.

Di Boras, sampah tidak berakhir di tempat pembuangan akhir, tertimbun, dan menimbulkan masalah baru. Sampah yang diurai sedemikian rupa itu menjadi pembangkit beragam energi yang menghasilkan listrik dan gas untuk kebutuhan rumah tangga, perkantoran, dunia usaha, moda transportasi massal, dan aktifitas publik lainnya di kota itu.

Bis yang melayani penumpang hingga larut malam di jalan-jalan utama kota menggunakan bahan bakar gas yang dihasilkan dari sampah organik kota itu. Pun truk pengangkut sampah dan kendaraan penyapu jalan yang sedari pagi telah mulai bekerja. 

Ketika salju mulai turun saat musim dingin di penghujung tahun, kebutuhan pemanas suhu ruangan di seluruh penjuru Boras disediakan oleh pembangkit listrik tenaga uap di kota itu yang sumbernya bukan dari biasanya batu bara, tetapi dari sampah non-organik. Dari pembangkit itu kebutuhan listrik Boras juga tercukupkan.      

Semua bermula dari warga kota yang melakukan pemilahan sampah di ruang personal, baik dari skala rumah tangga, kantor, dan tempat usaha. Dua warna kantong plastik yang ada di mana-mana, hitam dan putih, menjadi pembeda jenis sampah yang akan diolah jadi bernilai. Hitam untuk sampah organik, putih untuk non-organik. Di ruang-ruang publik, tempat-tempat sampah yang dibuat unik itu telah berfungsi untuk melakukan pemilahan awal. Permukaan bak penampung truk sampah ditempeli gambar yang mencitrakan masa depan Boras. Rasanya ada yang telah menjadi mapan di sana dan secara tidak tertulis disepakati, sampah memang bukanlah masalah. 

Gunnar Peters, Direktur Boras Energy & Environment, badan usaha kota yang mengoperasikan pembangkit energi dari sampah mengatakan, tata kelola sampah di Boras yang telah dilakukan sejak hampir empat dekade itu, memasuki keberhasilan baru sejak awal tahun 90an. Keberhasilan itu tak lepas dari kerjasama antara masyarakat dan sektor swasta yang didukung oleh pemerintah kota, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat. Tak heran jika badan dunia PBB menjadikan Boras sebagai kota dengan praktik terbaik dalam hal manajemen pengelolaan sampah dan menggelar forum global kemitraan internasional pengelolaan sampah di sana (9/9). Kota itu sedang mewujudkan visinya sebagai kota yang bebas dari penggunaan bahan bakar fosil.     



Boras adalah kota ketiga terbesar setelah Gothenborg, tetangga terdekatnya yang memiliki bandara sebagai akses transportasi udara dari belahan Eropa lainnya, dan lalu Stockholm, ibukota negara Swedia. Kota dengan jumlah penduduk yang hanya sekitar seratus ribu jiwa itu memiliki luas kawasan urban yang setara dua kecamatan di kawasan urban Kota Palu. Dimensi rural dan urban hidup berdampingan membangun harmoni. Sungai Viskan yang membelah kota, bukit-bukit berundak dengan pepohonan yang menjulang dan menjadi hutan kota, dan bangunan-bangunan dengan dinding bertekstur bata ekspos dari abad-abad yang lampau, mungkin dari saat kota itu ditemukan rajanya King Gustav II di abad 17, yang menjadikan kota itu sebagai pusat industri tekstil pertama dan terbesar di Swedia.      

Pejalan kaki dan pengemudi sepeda di pedestrian menjadi raja di jalanan. Dari siang hingga ketika petang saat musim semi akan berakhir, balita hingga lansia berkumpul di taman-taman yang berdekatan, berjajar rapi bersama pepohonan. Di kawasan sabuk hijau kota, bebaris pinus menghijau di punggung-punggung bukit. 

Sampah telah menghidupkan sekaligus merawat mimpi kota yang juga beragam itu sebagai kota apik dengan patung-patung gigantik yang unik, gedung tinggalan sejarah yang klasik, dan sebagai kota fesyen. Mimpi yang terakhir itu menjadi sangat mungkin diwujudkan oleh alasan historis Boras sebagai pusat industri awal tekstil Swedia, yang saat ini telah berdiri gedung pusat tekstil dan fesyen yang berfungsi sebagai museum dan sekolah desain. Di jalanan, mahasiswa dan warga kota tampil dalam gaya busana yang modis.       

Kota menjadi identik dengan publik yang membayar beragam pajak mereka pada kota, sekaligus pengguna hak dari pajak yang telah dibayarkan itu untuk penyediaan ruang dan sarana penunjang bagi aktifitas sehari-hari. Taman, pedestrian, moda transportasi massal, perpustakaan, museum, gedung pertunjukan seni dan olahraga, termasuk kebijakan pemerintah di kota setempat yang berpihak pada kepentingan warga, telah menjadi kebutuhan kota yang kedudukannya setara dengan fasilitas dasar kota selain sarana pendidikan dan kesehatan. Publik di Boras menjadi sebenar-benarnya publik.

Pemenuhan aspek pada ruang publik dan sarananya tersebut memberi sumbangan nyata bagi keberlangsungan dan keberlanjutan kota. Kota-kota yang demikian, tentu saja adalah kota-kota yang membahagiakan penghuninya. Dalam banyak jajak pendapat, Swedia menjadi salah satu negara bersama negara-negara lainnya di Skandinavia yang seringkali diposisikan sebagai negara dengan indeks kebahagiaan warga yang tingkatnya berada di atas rata-rata negara lainnya di dunia. Hingga tulisan ini hendak saya posting, saya sedang menunggu klarifikasi informasi dari kawan yang ada di sana, tentang standar upah minimum Boras yang setara Rp. 30 juta per bulannya. 
        
Hanya ada satu kata dari kota yang membahagiakan seperti Boras, inovasi yang tiada henti. Pengelolaan sampah sebagai salah satu bentuk dari inovasi itu telah menjadikan Boras percaya diri menatap masa depannya yang berkelanjutan.      

Hanya, ada beberapa hal yang tak ada di sana: laut, supermall, dan bunyi klakson kendaraan. ***


Penulis menjadi peserta konferensi forum global International Partnership for expanding waste management services of Local Authority (IPLA), yang diselenggarakan oleh United Nations for Centre Regional Development (UNCRD) di Boras, Swedia, 9 – 11 September 2013.


Bis berbahan bakar gas sedang melintas di jalan utama Allegatan.
Gedung perkantoran dan rumah makan di Simonsland.
Ibu hamil sedang menyusuri alun-alun kota (Stora Torget).
Lansia di Stora Torget
Mahasiswa Universitas Boras di depan patung berjudul Catafalque karya Sean Henry.
Patung berjudul Declination karya Tony Cragg di Sandwalls Plats.
Patung Pinokio berjudul Walking to Boras karya Jime Dine di ujung jalan utama Allegatan.
Perempuan remaja di taman depan Gereja Caroli Kyrka.
Sekeluarga menyusuri jalan Brogatan.
Sungai Viskan yang membelah Boras.
Tong hitam untuk sampah organik dan putih untuk non-organik
Truk pengangkut sampah.
Warga di taman bukit kecil (Knalletorget).



Wednesday, August 28, 2013

Suatu Waktu di Perpusnas Salemba

semacam panduan sederhana yang memudahkan bagimu yang akan ke sana

Di Jakarta, selain tempat makan dan tempat nongkrong untuk ngopi dan ngobrol dengan kawan, tempat yang selalu ingin saya kunjungi adalah perpustakaan. Ada banyak perpustakaan di Jakarta yang dikelola oleh institusi non pemerintah macam lembaga-lembaga kebudayaan negara asing, lembaga penelitian, lembaga swadaya masyarakat, ataupun komunitas -dengan kekhasan koleksi masing-masing termasuk tempat hiburan macam kafe dan sejenisnya dengan beragam tawaran suasana. Gabungan antara hiburan dengan perpustakaan memang telah menjadi kebutuhan, menjadikan perpustakaan tak sekadar ruang yang mengasingkan dengan tata bangunan, rak buku, dan pustakawan yang semuanya kaku. Perpustakaan dituntut untuk tak sekadar menyediakan bahan bacaan macam buku, majalah, dan media konvensional cetak lainnya, tapi juga koneksi internet dan fasilitas audio-visual. 

Selasa (27/8) keinginan saya mengalami pelayanan di salah satu perpustakaan di Jakarta terpenuhi. Kali ini perpustakaan yang dikelola pemerintah, Perpustakaan Nasional (perpusnas) di jalan Salemba Raya.



Perpustakaan yang diresmikan mantan presiden Soeharto dan istrinya Siti Hartinah pada 11 Maret 1989 itu memiliki 4 bagian. Pada tiga bagian yang bertingkat adalah gedung untuk pengurusan ISBN (International Standard Book Number) atau angka buku standar internasional, semacam semat sidik jari (barcode) pada buku-buku sebelum diterbitkan, dan di dua bagian gedung yang lain adalah ruang baca. Di bagian depan untuk pengurusan ISBN bertingkat tujuh, dan dua bagian lainnya untuk administrasi, rak buku, dan ruang baca masing-masing bertingkat sembilan dan sebelas. Bangunan di depan ketiga gedung itu digunakan untuk ruang pertemuan, dan mungkin, ruang pejabat perpustakaan.

Semua pelayanan dasar di perpusnas gratis! Mengurus ISBN, asal persyaratanmu lengkap, kamu bisa menunggu 10-15 menit (saat ke sana saya sedang mengurus ISBN). Pengurusan juga bisa online atau pengiriman berkas persyaratan melalui faksimili. Untuk cara yang terakhir ini membutuhkan waktu, karena pengurusan dengan datang langsung ke sana akan diprioritaskan.

Untuk informasi pelayanan di gedung perpustakaan, akan saya buat dalam alur foto-foto berikut:    


Layanan internet di lantai dasar gedung tengah. Di lantai ini juga ada desk informasi, ruang pembuatan kartu anggota, dan locker untuk penitipan barang 
  
Komputer pengisian biodata untuk pembuatan kartu anggota. Siapkan identitasmu (KTP atau SIM) dan mengisi sendiri formulirnya melalui komputer. Setelahnya masuk ke ruangan di balik komputer-komputer itu

Jika tak antri, kamu akan segera difoto. Klik! kartu anggotamu langsung jadi dan berlaku selama 5 tahun! Kemarin saya hanya butuh waktu kira-kira 5 menit untuk buat ini. 3 menit isi formulir, 2 menit untuk foto dan cetak kartu. Gratis!


Tas yang kamu bawa dari rumah akan dititip di locker bernomor. Akan diberikan kunci locker, tas plastik untuk mengganti tasmu dan membawa barang yang akan kau bawa ke ruang baca, dan nomor titipan


Katalog online di lantai dua, tempat penelusuran buku. Serupa Google, kolom pencarian/penelusuran menggunakan kata-kata kunci sebagai subyek pencarian. Akan lebih baik jika kamu tahu judul atau nama penulis/pengarang buku. Hasil penelusuran akan memberikan informasi di lantai berapa bacaan yang kau cari berada


Mintalah pada petugas form berikut (permintaan) setelah penelusuran. Buku-buku yang kau dapatkan di penelusuran detil informasinya diisi di form itu. Lokasi tempat buku yang telah kau telusuri (kolom kiri atas) selanjutnya akan ditandai oleh petugas. Pada foto menunjukkan buku yang saya cari berada di lantai 5 (V).


Tak perlu masuk ke ruangan yang berisi rak-rak buku. Setelah sampai di lantai-lantai yang direkomendasikan, form "permintaan" hasil penelusuran diserahkan pada pustakawan. Kita menunggu di ruang baca. Setelah membaca, buku tak boleh ditinggalkan di meja. Harus dikembalikan pada pustakawan.


Jam pelayanan perpustakaan. Khusus untuk ruangan deposit (buku-buku langka) pelayanan hanya sampai pada pukul 15.00

Suasana di lantai 2 (ruang katalog online). Seorang anak menemani ibunya mencari buku. Buku dan perpustakaan memang harus diperkenalkan, didekatkan, dibiasakan pada mereka sedari kecil untuk membangun kebiasan
Pacaran di perpustakaan adalah hal yang juga harus dibiasakan dalam kehidupan bersama pasangan. Membahagiakan! :)

Selain perpusnas, perpustakaan yang dikelola pemerintah yang koleksi bukunya lumayan adalah perpustakaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Senayan atau perpustakaan Universitas Indonesia di Depok, Jawa Barat (saya belum pernah ke perpustakaan ini yang katanya megah itu). Berikut ini adalah perpustakaan-perpustakaan dengan koleksi bacaan khusus dan dengan suasana yang mengasyikkan.

- Reading Room
- Goethe Institut (Lembaga Kebudayaan Jerman)
- The Centre for Strategic and International Studies (CSIS)
- KITLV
- Institut Francais Indonesia (lembaga Kebudayaan Prancis)
- Freedom Institute

Tentu saja masih ada banyak perpustakaan di Jakarta yang belum tercantum dalam tulisan ini, karena keterbatasan informasi yang saya miliki dan karena belum punya pengalaman mengunjungi perpustakaan-perpustakaan yang belum tercantum itu. Tanggapan dari kawan-kawan yang membaca postingan ini terkait tempat harta karun peradaban itu tentu saja akan sangat saya nantikan. Akhirnya, mari ke perpustakaan.     

Sunday, August 25, 2013

Bhinneka Metal Ika

Mengenang Ipank Nocturno



Sebuah tanya dari kicau akun Twitter seorang kawan @Puthutea sehari sebelum Metallica naik panggung (25/8). “Sebetulnya apa yang menarik dari Metallica?” Saya membalas kicau itu: “kenangan”.

20 tahun lalu, April 1993, Metallica manggung di stadion Lebak Bulus Jakarta. Berita-berita tentang konser itu hanya saya ikuti dari majalah remaja Hai. Belum begitu jauh dari situ ketika saya menyukai band rock dari negeri Paman Sam itu oleh seorang kawan yang telah berpulang. Namanya Ipank.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiV4nEAsPycnly7cS_OlpVjQupySbZlNL9bj6kjReRZzNakZyKQNRHPjC41QD139T5lQSbCs3dn8vmo0jKUg60zCMrb_Tw3LocfVLAsYFebwedPtM_HGOqTRq3YhGPz9lqL8mPfpkZlVYc/s640/HAI+Metallica+(1).JPG

Sebagai anak jaksa yang kerja orang tuanya berpindah-pindah, Ipank datang ke Palu dan membentuk sebuah band sekolah yang mereka beri nama Nocturno. Sebagai penyanyi di band itu, referensinya hanya satu: Metallica. The Unforgiven pernah dibuatnya menjadi koor dalam sebuah festival di Gedung Olah Raga Palu (1992) dan membuat band bentukannya itu menjadi band favorit yang selalu saya kenang.  

Dua intro yang selalu dimainkannya di saat-saat kami nongkrong dengan gitar kopong, Fade to Black dan Enter Sandman. Serupa genit ketika kali pertama pegang gitar dan belum sah rasanya bagi anak band jika tidak tahu memainkan intro gitar lagu Scorpion Always Somewhere atau Love of My Life punya Queen. Saya minta diajari kord lagu-lagu Metallica itu padanya, menghapal lirik-liriknya, lalu memainkannya sendirian di depan kaca di dalam kamar, membayangkan menjadi Hetfield di atas panggung yang ditonton teman-teman dan pujaan hati.

Jatuh cinta dan era pemberontakan masa muda dimulai. Pagi siang malam, dari dalam kamar yang terkunci hentakan Seek and Destroy, Blackened,  One, Ride the Lightning, Master of Puppets, dan entah apa lagi hits Metallica sebelum album Load dan seterusnya, berdentam. Dinding kamar tak ketinggalan. dihiasi poster-poster Metallica formasi ketika basis Jason Newstead masih ada.

http://sphotos-e.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc6/262649_2102619454255_2159165_n.jpg

Saat itu tak mungkin rasanya minta dibekali orang tua untuk datang ke Jakarta hanya agar bisa nonton Metallica. Tapi mungkin sekali rasanya ketika 20 tahun kemudian pada tahun 2013 saya harus mewujudkannya. Serupa naik haji. Kali ini harus datang dan mabrur. Massa berkeliling serupa tawaf mencari pintu-pintu masuk dengan penjagaan ketat. Gerah, saya merasa harus membuka baju untuk ikut berguncang dengan ribuan penonton yang berdiri di area festival, tak begitu jauh dari bibir panggung.

Di Gelora Bung Karno (GBK), penonton dan Metallica sama-sama berbagi energi. Tak ada yang senja dari mereka. Permainan gitar dan aksi keliling panggung James Hetfield (50 tahun) dan Kirk Hammet (50 tahun) masih lincah. Begitu juga gebukan drum Lars Ulrich (49 tahun) yang masih bertenaga, stabil selama hampir dua jam lebih pertunjukan dan membawakan 20 lagu. Robert Trujillo yang telah menjadi basis ketiga setelah Cliff Burton dan Jason Newstead tak kalah gila, bak putaran gasing, rambut cacingnya yang headbanging di hampir setiap lagu bertempo cepat, tampak serupa gurita yang terluka.


Saya memantau informasi dari Wendy Putranto, wartawan Rolling Stone Indonesia, metalhead yang datang ke GBK tak hanya dari pulau Jawa. Saya bertemu beberapa kawan yang datang dengan rombongannya dari Makassar (@EvaMoa @ikoMd). Saya merasa beruntung menjadi salah satu dari ribuan pasang mata yang ikut menyaksikan band yang akan dan telah jadi catatan sejarah musik dunia itu.

Darkness imprisoning me
All that I see
Absolute horror
I cannot live
I cannot die
Trapped in myself
Body my holding cell
(Reffrain One, 1990)

Cuaca malam Jakarta yang bersahabat. Saya selalu saja mendongak ke atas, mengingat Ipank yang tak lagi bertemu dan bertukar kabar setelah pindah ke Jakarta pada akhir 1998. Hanya kabar usahanya melawan ketergantungan narkoba dan lalu kabar duka yang simpang-siur. Tapi saya yakin dari kejauhan yang sesekali kupandangi itu dia ikut menonton idolanya, Metallica!


















Pintu festival dibuka pukul 17.00








































Gelang event sebagai akses selain tiket

















Bertemu Ipang (@ipanglazuardi), vokalis BIP setelah konser


Sunday, July 7, 2013

BARBARA: DI ANTARA HATI DAN IDEOLOGI

Dari GCFFI 2013 di Kota Palu


BARBARA memilih kata hatinya. Dokter perempuan dengan perangai dingin itu (Nina Hoss) memilih tetap berada di timur Jerman sekalipun hidup dalam pengawasan ketat intelijen negara.

www.npr.org

Sedari awal hingga nyaris film selesai,  rutinitas tokoh-tokoh dalam Barbara seolah dihadirkan tanpa emosi. Ruang-ruang personal tempat Barbara menyembunyikan uang, suasana ganjil penumpang kereta, pertemuan rahasia untuk sekadar melepas birahi dengan pacarnya yang tanpa gairah, teror negara padanya, kunjungan pasien, dan percakapannya –juga ciuman sesaatnya dengan Andre, koleganya sesama dokter, dibuat datar, termasuk malam-malam yang sepi atau siang yang sarat kekosongan, kecemasan.

Seolah sengaja, adegan-adegan membosankan itu mendapatkan pembenaran. Jerman Timur yang sosialis dipersepsikan sebagai negara kaku yang disiplin ideologinya hadir di semua ranah kehidupan warganya dari ruang privat hingga publik. Tubuh yang disiplin. Pada suatu adegan Barbara diinterogasi, diperiksa dalam tubuh yang telanjang, kamar tidurnya diobrak-abrik, dan percakapan orang-orang dalam film yang seringkali lebih sering seperti berbisik, termasuk rumah sakit tempat Barbara bekerja.

Sutradara Christian Petzold lebih mengedepankan bahasa tubuh tokoh-tokohnya dalam menyampaikan pesan situasi Jerman Timur di era itu yang seperti rumah kaca. Dalam sebuah adegan, kecemburuan disampaikan dengan cara memindahkan posisi sepeda Barbara yang habis bercinta dengan pacarnya di sebuah hutan yang sepi. Tanpa bicara. Pun begitu ketika sebuah pengering rambut yang mungkin produk dari barat tegangan listriknya tak sama dengan di timur. Yang bicara di adegan itu adalah korsleting.  

Keterkejutan akhirnya dihadirkan di akhir film ketika Barbara memilih Andre, tokoh yang tak diposisikan sejak awal sebagai protaganis, bahkan mungkin malah sebaliknya, dicurigai menjadi bagian dari intelijen itu sendiri.

Intensitas personal yang dibangun dalam percakapan-percakapan tak berkesan antara Barbara dan Andre menjadi lapis terdalam untuk memaknai pesan utama dari film, hubungan keduanya, termasuk terpisahnya timur dan barat dalam sepenggal sejarah negeri itu.

Penonton hanya akan menunggu satu jawaban dari sana. Pelarian Barbara melalui laut dari Jerman Timur dapat berjalan sesuai rencana. Seperti pelarian-pelarian orang Yahudi di kamp-kamp konsentrasi Nazi yang selalu dramatik. Drama pelarian Barbara di akhir film yang diharapkan itu melahirkan drama baru yang yang tidak saja mengejutkan, tapi juga mencerahkan. Barbara tak lari dan malah membebaskan pasiennya, Stella. Cinta personal antara dokter dan pasien, cinta antara kolega sesama dokter yang saling membutuhkan, cinta yang membebaskan, mengatasi ketakutan apapun yang diciptakan negara.


Barbara memang bukan pataba (yang utama) dari 9 film Jerman yang dipilih untuk pemutaran German Cinema Film Festival 2013 di Kota Palu. Ada 8 film Jerman lain yang tak kalah bagusnya, yang merepresentasikan Jerman dalam banyak tema. Tapi bolehlah berasumsi Barbara bisa mewakili kecenderungan aktual film-film Jerman yang bertema sejarah.

Tema sejarah terbelahnya Jerman dalam Timur dan Barat dalam sinema Jerman generasi pasca tembok Berlin runtuh, telah mewarnai beberapa film yang menjadi wacana penikmat film di Indonesia. Untuk menyebut salah satu dari film dengan tema itu adalah Goodbye Lenin (2003) yang diputar pada Jakarta International Film Festival (JIFFest) tahun 2004. Goodbye Lenin  adalah drama yang merefleksi sejarah Jerman dengan cara satir. Pada dokumenter, ada film This Ain’t California –masuk dalam daftar film German Cinema Film Festival 2013, yang juga menampilkan satir subkultur komunitas skateboard, dan Anke Limprecht (2000), film dokumenter pendek yang mengisahkan upaya menyatukan sobekan potongan-potongan kertas dokumen rahasia negara yang sengaja dimusnahkan.

Semua dari film-film itu menjadikan bagian penting dari sejarah terpisahnya Jerman sebagai tema. Tak ada yang baru di sana, karena menjadikan timur sebagai titik pijak, namun pada Barbara jadi lain karena lapis terdalamnya, cinta, dan bukan sekadar ideologi politik belaka. ***

SutradaraChristian Petzold
SkenarioChristian Petzold
Harun Farocki
PemainNina Hoss
Ronald Zehrfeld
Jasna Fritzi Bauer
Mark Waschke
Rainer Bock
MusikStefan Will
SinematografiHans Fromm
EditorBettina Böhler
Release date(s)
  • 11 February 2012 (Berlin)
Durasi105 menit
Asal filmJerman
BahasaJerman
Box office$3,115,348

Wednesday, April 3, 2013

JENUH

CATATAN FORUM SKPD dan MUSRENBANG KOTA PALU 2013


SAYA mengikuti proses selama dua hari (26-27 Maret) kegiatan Forum SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) –kata lain dari kantor, dinas, badan, yang dirangkaikan dengan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang diselenggarakan Bappeda Kota Palu. Ada banyak catatan dari kegiatan yang baru pertama kalinya saya ikuti itu.

Kegiatan dua hari itu dibagi dalam dua sesi besar, hari pertama adalah presentasi dari SKPD, hari kedua para peserta yang juga termasuk unsur masyarakat dan akademisi, digabung dalam pembagian kelompok berdasarkan 3 isu utama dalam hal usulan: sosial budaya, ekonomi produktif, dan fisik prasarana.

Sebagai sebuah forum besar di level kota, kegiatan itu saya anggap sebagai proses formal terakhir setelah proses-proses yang sama sebelumnya dilaksanakan secara bertahap dari tingkat kelurahan dan lalu kecamatan. Itulah forum di mana kantor, melalui kepala dinasnya, atau yang mewakili, menjelaskan apa yang belum dicapai, apa yang sudah dicapai, dan apa yang akan dicapai setahun ke depan.

Itu pula forum di mana semua hal harusnya diperdebatkan dengan elegan, terkait anggaran dan kegiatan-kegiatan penting yang jadi prioritas karena sumber daya anggaran terbatas, sebagai upaya merasionalisasi kebutuhan, juga untuk mendekati visi dan misi kota yang disepakati itu, yang dikuatkan pula oleh peraturan.

Forum yang seyogyanya dirayakan sebagai alat ukur capaian berkota itu, juga adalah alat menyaring banyaknya kepentingan, kenapa yang x didahulukan, sebaliknya yang y tidak, dan seterusnya.

Apa yang saya rasakan dari proses dua hari itu? Kejenuhan yang teramat sangat. Yang lainnya? Saya membayangkan sebuah kota, yang di dalam kota itu orang-orang bekerja sendiri-sendiri untuk satu hal yang tidak begitu pula dimengerti: visi.


Pada tema kemiskinan misalnya. Kantor-kantor bekerja dengan pendekatan sendiri-sendiri, dengan dampingan masyarakat sendiri-sendiri, pendekatan program dan kegiatan di masing-masing yang sendiri-sendiri, yang itu berarti sajian datanya pun sendiri-sendiri.

Seperti yang disampaikan oleh Kepala Dinas Pariwisata, Sudaryano Lamangkona, yang merasa berjalan sendiri perihal kawasan religi di jalan Sis Aljufri itu. Sebagai leading sector di topik itu, ada sektor-sektor lain yang harusnya mendukung: penataan ruang, penyiapan infrastruktur, dukungan bagi ukm, dan pendukung lainnya untuk mewujudkan kawasan tersebut. Dinas yang harusnya jadi perhatian karena menjadi salah satu kata kunci terkait visi kota itu, juga merasa sendiri pada soal-soal lain terkait tata kawasan Gandaria, yang diakui dalam peraturan daerah tentang rencana tata ruang kawasan, sebagai teras depan di sepanjang pesisir teluk, sebagai fokus prioritas kawasan wisata.

Kolaborasi, integritas, dua kata kunci yang menjadi judul tema kegiatan itu, bersama kata lainnnya, koordinasi, dan kata-kata teknis dari bahasa serapan asing itu menjadi yang paling sering diucapkan, diumbar, dipilih sebagai diksi yang orientasinya retorika belaka tanpa jiwa, yang enak di lidah tapi tanpa pelaksanaan.

Saya jadi ingat penggalan syair WS Rendra, “perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.”

Itu belum soal lain terkait pemberdayaan masyarakat atau akses pelayanan publik pada dua hal dasar, pendidikan dan kesehatan, yang secara nasional diakui sebagai prioritas.

Saya kemudian merepresentasikan kejenuhan saya itu pada situasi yang sama: jenuhnya birokrasi. Mungkin karena saya pikir itu adalah kegiatan rutin yang sifatnya wajib. Seperti orang yang beribadah karena tendensi menggugurkan kewajiban, dan bukan refleksi, dari apa-apa yang terjadi di keseharian kota: penataan ruang dan kawasan, sampah, konflik komunal, reformasi birokrasi, akses layanan pendidikan dan kesehatan, yang semuanya terasa masih jauh panggang dari api, dan setumpuk soal lain.

Bappeda sebagai yang punya hajatan, sebagai event organizer kegiatan tahunan itu, tentu tak bisa disalahkan sepenuhnya. Pun juga para peserta, termasuk saya, yang ketika presentasi berlangsung tak merasa betah berlama-lama. Sayangnya, sekalipun dalam banyak hal kegiatan itu punya banyak keterbatasan, saya kecewa tak ada satu pun wakil rakyat yang hadir dalam kegiatan itu. Entah kenapa.

Saya tidak dapat undangan resmi yang berupa kertas fisik. Keterlibatan dalam banyak hal dengan kota, membuat saya merasa wajib hadir, sekali pun hanya tahu dari bincang-bincang di warung kopi. Saya merasa ada yang harus diubah pelan-pelan dari kota ini soal partisipasi, inisiasi, dalam beragam bentuk: hadir dan atau sekadar menulis kegalauan berkota.

Kegalauan yang sama seperti ketika pembagian kelompok pembahasan di hari yang kedua. Saya berpikir, untuk urusan sederhana menata ruang kelompok saja kita punya masalah, bagaimana pula kita melihat yang lebih besar dari sana: menata kota. Dua kelompok yang di tata di satu ruang pembahasan tentu akan saling bertabrakan suaranya karena pengeras suara, chaos, memecah konsentrasi.



Hal-hal sederhana yang terasa biasa, yang liyan dan  karenanya sepele, mungkin serupa contoh lain ketika kita berupaya menuju kota yang bersih. Mari kita tengok kantor-kantor kita, bersihkah? Jika belum, di situasi masyarakat yang begitu kental paternalistiknya, jangan berharap ada perubahan jika anutan tak berubah, bukan?

Saya juga tidak menemukan penjelasan sedikit pun dari yang mengelola pendidikan, sektor penting yang bagi saya wacananya lebih banyak ke soal fisik infrastruktur daripada hal-hal yang substantif terkait pemutuan dan layanan.

Menarik tidaknya kemasan sebuah acara, akan tergantung metode kreatif yang digunakan. Kejenuhan birokrasi terjadi di mana-mana, saya pikir karena soal birokrasi itu sendiri, yang lebih suka merebahkan dirinya pada soal-soal ajeg perihal protokoler dan kesantunan yang kulit ari, dan bukan pada substansi, di mana kreatifitas dan seni mengelola keajegan –atau kebekuan dimungkinkan dan bahkan dipraktikkan menjadi sebuah pendekatan.

Sebagai insitusi perencana daerah, di kegiatan itu saya membayangkan Bappeda sebagai sutradara teater yang pemain-pemainnya adalah SKPD, atau sebagai konduktor bagi sekumpulan orang yang memainkan musik orkestra. Sebagai sutradara, Bappeda harusnya punya kewenangan menentukan skenario yang diperankan SKPD dalam semua proses pembangunan, mengawal akting teater atau bunyi orkestra agar tidak keluar dari tema, menegur bila perlu jika salah, dan sampai pada akhirnya merayakannya dalam forum rutin yang hanya dua hari itu. Selain DPRD dan Dinas Pendidikan, olehnya saya juga kecewa kegiatan itu tak dihadiri wali kota, yang berkuasa penuh pada sutradara teater dan konduktor orkestra.   

Kita patut mengapresiasi pencapaian-pencapaian yang telah diupayakan dari apa-apa yang disampaikan oleh para kepala dinas, dengan tentu saja banyak catatan.

Nyaris tak ada masalah di kota ini dari semua paparan itu. Capaian-capaian angka disebutkan, target-target diraih, dan proyeksi-proyeksi ke depannya disampaikan. Kesan yang coba saya tangkap, kalau pun ada masalah, ya mungkin begitulah dinamikanya, begitulah adanya. Terima saja. Sembari berjanji akan memperbaikinya di hari depan.

Di hari setelah semua peserta bubar dari acara sore itu, tersisa setahun lebih bagi birokrasi Kota Palu bekerja untuk mencapai visi sebagai kota teluk berbasis jasa pariwisata, industri, dan perdagangan yang berwawasan ekologis. Pertanyaannya kemudian adalah, bisakah? Semoga!


Catatan: tulisan ini dipublikasikan di rubrik mingguan Indie, Media Alkhairaat, terbit sabtu, 30 Maret 2013

Postingan Sebelumnya..