Laut terasa begitu dekat dari kamar 811 Hotel Santika. Jarak antara hotel itu dan pesisir teluk dari mistar Google Earth yang ditarik lurus ternyata tak sampai 2 km. Dari kamar di hotel itu laut serupa kolam besar yang airnya tenang, semakin ke utara semakin tak terlihat batasnya.
Saya mengamati sekaligus menikmati beragam dimensi waktu dalam sehari dari kamar itu, sepenggal Palu: siang, senja, malam, dinihari, dan subuh yang perlahan berganti oleh terang matahari ketika hari berganti menjadi pagi. Dari kamar itu, imajinasi dan kecemasan datang silih berganti, ruang dan waktu seolah bertarung merebut perhatian. Sejuknya pendingin udara, seprei putih yang menggoda, dan acara-acara televisi yang tersaji 24 jam, bertarung dengan landskap tak biasa di luar sana dari bingkai jendela.
Jika tsunami terjadi di teluk itu, air laut tentu sampailah ke daratan, mungkin bahkan ke tengah kota, ke tugu dengan bentuk aneh sebagai penanda titik nol kilometer kota di jalan Sultan Hasanuddin, tak begitu jauh dari hotel yang berada di jalan Mohamad Hatta itu.
Di Bali, forum Pengurangan Risiko Bencana di sana telah bersepakat dalam nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) dengan hotel-hotel yang berada di sepanjang pesisir pantai. Jika tsunami terjadi, top roof hotel-hotel itu dapat diakses bebas oleh warga sekitar sebagai tempat evakuasi.
Kita di Palu tentu tak berharap bencana alam itu terjadi. Tapi kita harus menerima kenyataan bahwa di dasar teluk yang indah itu sebuah patahan bumi (Palu Koro) bergerak aktif, sesekali mengirimi kita pesan dengan guncangan-guncangan kecilnya sebagai pemaknaan akan fenomena alam: gempa, yang pernah punya sejarah berubah jadi bencana.
Dari ketinggian, kota memang selalu terlihat diam. Dari kamar itu, hijau masih terlihat lebih dominan. Pepohonan masih terlihat menutupi banyak bagian karena masih lebih tinggi dari sebagian besar bangunan. Terlebih pada bagian di seberang Hotel Santika yang dikenal orang sebagai Taman GOR, ruang terbuka hijau, ruang publik di tengah kota -selain Bundaran Nasional yang berada tak jauh dari situ.
Mari kita bayangkan jika ruang-ruang publik yang hijau dan terbuka itu, pada suatu saat nanti, yang entah kapan, tak lagi hijau oleh pepohonan dan berubah fungsinya menjadi privat oleh kebijakan investasi dan penataan ruang. Gedung, tower, menggantikan beragam macam pepohonan yang tumbuh di situ, menjadi paru-paru kota, puluhan bahkan ratusan tahun. Kekhawatiran itu karena kota-kota cenderung selalu bergerak dengan cara yang seperti itu.
Agak lebih jauh ke timur, beberapa titik di bebukitan di Poboya terlihat serupa luka kering yang semakin hari semakin menganga. Pun di barat yang memanjang hingga ke arah Donggala. Beberapa titik di dua kutub kota itu, menjadi seperti itu karena gairah penambangan emas, pasir, dan batu.
Kota tentu tidak diam seperti yang terlihat dari kamar di lantai kedua tertinggi di hotel dengan 8 lantai itu -tidak ada lantai 4 di hotel itu. Orang-orang di kota akan selalu bertambah oleh kelahiran dan migrasi: harapan-harapan tentang dinamika urban dan masa depan. Begitupula bangunan dan apalagi kendaraan. Imajinasi untuk menghadapi perubahan-perubahan drastis kota dibutuhkan untuk menjadikan kota tetap nyaman dan memanusiakan. Dan bukan menjadi kota yang tragis dan mengenaskan: macet, polusi udara-suara-visual, hilangnya ruang-ruang publik yang terbuka dan hijau, kriminalitas, menjadi akrab dalam keseharian.
Dari kamar itu, yang saya bisa hanya memotret beberapa landskap sembari berdoa: Palu, semoga tidak sedang menuju kecemasan berkota, tapi berimajinasi untuk senantiasa memperbaiki yang ada pada dirinya.
Terima kasih buat manajemen Hotel Santika Palu yang telah mengundang saya dalam acara bookers gathering (4 September 2013) dan memberikan doorprize voucher diskon 50 persen.