Paperbag Scene (American Beauty, Sam Mendes, 1999)
Saya ingin memulai tulisan ini dari sebuah film
Seorang remaja pria tanggung (Wes Bentley) yang hari-harinya diisi dengan menenteng-nenteng camcorder dan mengabadikan apa saja mulai dari kegiatan tetangganya, yang ditemui dijalan, sekolahnya, hingga kesehariannya di rumah. Pada sebuah adegan, remaja pria tanggung itu mempresentasikan karyanya pada seorang perempuan sebaya tetangganya.
God is small things, tulis Arundhati Roy, pada judul buku fiksinya. Remaja itu merekam sebuah peristiwa kecil yang mungkin untuk ukuran banyak orang tak memberi kesan apa-apa kecuali yang tampak pada mata kasat: sebuah kantong plastik bekas yang terbang kesana kemari dipermainkan angin namun seolah sedang bermain, berangsur-angsur bergerak jauh, lensa tetap berfokus padanya. Desis angin yang meniup plastik itu seperti perumpamaan (metafora) percakapan manusia yang memperkuat adegan-adegan ganjil itu, yang ditambah instrumentalia organ klasik mendayu-dayu getir dibelakang. Remaja itu seperti sedang ingin menjelaskan siapa dia dan bagaimana dia dan hidup saling bercengekrama. Kantong plastik bekas dan angin menjadi metafornya.
Saya menyebutnya video art. Serupa puisi yang tidak dimaknai konvensional, ditulis dan dibacakan oleh penyairnya. Juga tidak seperti pakem film konvensional yang ada alur (plot) ceritanya, ada konfliknya, ada orang-orang bercakap atau narasi yang dibacakan oleh orang pertama. Film yang seperti ini (video art) menurut hemat saya adalah medium baru bagi siapa saja yang ingin mengabadikan semua hal yang bergerak dan bersuara. Tantangannya kemudian adalah melanjutkan hal-hal kecil ini menjadi metafora, menjadi semacam sebuah pesan ke struktur terdalam kesadaran kita yang ingin meresepsinya sebagai tontonan. Agak repot karena tafsir menonton kita kadang suka berhenti dilapisan kulit ari yang superfisial oleh cerita-cerita yang terlalu realis, kadang tidak logis.
Disatu sisi gampang. Apa susahnya merekam aliran air di selokan atau yang sedang mengucur jatuh dari keran. Atau sekadar merekam percakapan orang dengan tanpa tendensi apa-apa. Lagipula teknologi menjadikan semua proses itu dimungkinkan. Tak harus kamera profesional. Fitur perekam pada telepon genggam juga sudah bukan barang langka. Soalnya kemudian adalah, apakah kita punya kepekaan (empati) pada hal-hal yang terjadi di sekeliling kita, yang kemudian bisa kita tangkap menjadi ide, syukur-syukur pesan, dan kita pindahkan ke medium menjadi gambar-gambar yang bergerak dan bersuara. Disitulah letak susahnya.
Tak ada yang salah dari sebuah rencana membuat mahakarya (masterpiece) dalam sejarah hidup setiap kita. Bagi pemula termasuk saya, jebakan-jebakan itu, membuat sesuatu yang besar, dahsyat, monumental adalah naluri lain yang bekerja pada setiap manusia. Saya memakluminya, sekadar mencurigainya dengan positif, karena energi yang berlebih diusia muda. Ketika hal-hal kecil bisa kita selesaikan, hal-hal besar biasanya mengikuti. Saya mengimani ini. Small is Beautiful kata E. F. Schumacher, penulis buku ekonomi klasik yang juga ingin saya kutip dalam tulisan ini.
Saya jadi ingat petuah bijak. Bukan soal susahnya sesuatu, tapi memulainya. Mulainya mungkin tanpa pesan. Rekam apa saja. Abadikan!
betul mas. ketika kita mulai mengabadikan momen2 dalam kehidupan kita, kita seperti menorehkan kenang2an untuk masa depan kita.. pernah ngga coba baca2 lagi tulisan2 waktu smp atau bahkan sd dulu? pasti jadi keinget suasana dan keadaannya jaman dulu..
ReplyDelete:)