“SAYA mau main bass lagi,” katanya. Itu menjadi hal pertama yang saya
syukuri hari itu (28/04). Laptop dia buka, headphone dia pasangkan ke
telinga saya, dan delapan lagu yang baru direkamnya mengalun perlahan. Lagu-lagu
dengan tempo yang tidak begitu cepat, tetapi juga tidak lambat. Jam 11 malam. Gerimis
di Pejaten yang juga perlahan.
Mei 2014 mungkin akan menjadi lembaran baru bagi karir bermusik Mohamad
Rival Himran. Himran nama marga bapaknya, Man, yang begitu cepat meninggalkannya
saat dia masih kecil. Seketika dia memikirkan suatu saat figur yang selalu dia
rindukan itu hadir dalam proses kreatifnya. Entah kapan.
Tidak banyak yang tahu namanya Rival. Banyak yang tahu namanya Palo
(ditulis Pallo), memanggilnya begitu. Tidak banyak juga yang tahu Palo dalam
bahasa suku Kaili di Sulawesi Tengah artinya pantat.
Baru bukan hanya karena ada lagu-lagu baru, tetapi juga formasi baru.
Album baru ini berjudul Wortel dan Brokoli. Terinspirasi dari dua anaknya yang
sepasang, Rayyan dan Shesya, yang masing-masing dari mereka suka dua sayuran
itu.
Dikonsep dari awal sebagai duo reggae dengan Rival sebagai former, rasa
baru Pallo karena duet baru Rival, Agy Sheila. Dua album sebelumnya, Rival
berduet dengan Lesa. Agy, kata Rival bukan orang baru dalam proses Pallo
berkarya.
Setahun yang lalu, 26 Mei 2013, Pallo meluncurkan album Pasti Indah
Santai Saja (PISS) di kampung halamannya, Palu. Tak tanggung-tanggung, acara bertajuk
Reggaeducation itu dihadiri kolega-koleganya, Tony Q’ Rastafara, Ariyo Wahab
(FOS Nation), dan wartawan majalah Rolling Stone, Wendy Putranto. Tanpa
persiapan yang matang, pelaksanaan acara saat itu tak meninggalkan banyak cerita
mengesankan kecuali catatan: kemampuan manajemen internal band dan faktor eksternal mengelola komunitas, khususnya reggae, termasuk strategi pencitraan media.
“Saya belajar dari proses-proses yang sudah lewat.” Itu menjadi hal
kedua yang saya syukuri.
Sudah jam 2 dini hari. Delapan lagu itu saya putar berulang-ulang. Rival
ingin dapat komentar. Saya tahu dan sengaja bikin dia penasaran. Tak sabar,
akhirnya dia minta satu kata saja. Saya jawab, datar!
Dan naik motor vespa tua membelah jalanan ibukota negara yang lengang
menjadi begitu membahagiakan. Jakarta seperti milik kami berdua. Kami berpindah
dari Pejaten ke rumah Rival di Mampang. Ingatan saya berpulang 12 tahun silam
di Yogyakarta saat kami berproses sebagai band kere tapi aktif dan tanpa
orientasi. Kami bernostalgia. Pleaseat, band yang meneguhkan komitmen Rival
bermusik saat itu, vakum. Adi Tangkilisan memilih berhenti dan kuliah, saya memilih
menikah, sedang Rival hijrah bermusik ke Jakarta. Semua genre musik telah dia
lewati dalam proses itu sebelum pada akhirnya memilih reggae menjadi jalan
hidupnya, yang menurut Rival karena dicekoki Tony Q.
Reggae telah menjadi akar (roots) bagi proses kreatifnya. Sebelum
membentuk Pallo, Rival dikenal sebagai bassis band reggae Steven N’ Coconut
Treez yang saat ini vakum. Spirit reggae telah dia pilih untuk lagu-lagu yang
dia lahirkan. Tantangan menurutnya adalah mencari yang tak sekadar Jamaika, tetapi
yang khas Indonesia, terlebih jika lahir dari kampung halaman. Tentang yang
terakhir ini bisa ditemukan kental pada intro lagu As a Reggaeman. Tetapi saya pun
berharap, lokalitas menjadi tak sekadar tempelan belaka. Delapan lagu baru
Pallo mengantar tidur saya. Lagu terakhirnya memang buat tidur. Judulnya Ruang
Abadi. “Terlihat di langit awan gelap.
Hujan rintik-rintik menyejukkan. Ruang abadi seakan berkata, hari ini, kita kan
terlelap.”
Suara Shesya lamat terdengar. Melihat ada orang asing di ruang tamu
yang tidur di sofa rumahnya, Shesya mengamati, curi-curi pandang. Masih pagi,
masih mengantuk. Tetapi saya tak ingin melewatkan momen anak itu bermain dengan
ayahnya yang bermain gitar. Suara Shesya direkam untuk lagu Ruang Abadi. Pagi
itu mereka nyanyikan.
Saya mengulang pembicaraan semalam. Akhirnya saya bilang, paling suka
lagu I’m Fallin Love. Ada suara Fairus A. Rafiq dan Tony Q di lagu itu. Bukan
soal nama-nama itu. Saya suka liriknya. “I’m fallin love, beranilah karena
cinta. I’m fallin love, kita kan bahagia.”
Eksperimen Rival kali ini pada materi di lagu-lagu baru Pallo menurut
saya adalah menjadikan lagu-lagu itu tetap berakar pada reggae dan mengemasnya
menjadi lebih lembut dari dua album Pallo sebelumnya. Mungkin untuk menjawab kebutuhan karakter suara Agy yang memang lembut. Nyaris tak ada dari
delapan lagu itu yang bikin terkejut secara musikal, termasuk lagu Life Goes On
yang dikemas ulang. Ini musik kamar, menurutku, yang akan diresapi dengan
keintiman tertentu. Itulah makanya Rival mempersiapkan peluncurannya di taman.
Beberapa kawannya yang ingin membantu mewujudkan gagasan itu berencana bertemu
siang itu. Jam 12 siang. Dari Mampang kami bergerak ke Tebet. Jakarta jam
begitu tentu sudah tidak selengang dan selapang malam. Gerah, macet.
Di sebuah kafe di tebet, diskusi lintas komunitas yang digagas Rival
untuk menyepakati rencana peluncuran berjalan alot. Direncanakan akhir bulan
Mei dan akan dilaksanakan di taman. Saya berbisik padanya. Tahun lalu
peluncuran di kampung halaman itu biasa. Yang luar biasa kalau dilakukan di kampung
orang. Sudah sore dan kami menyusun rencana baru menyambut malam. Hari itu Coki
Sitompul, gitaris teman band Rival di FOS Nation berulang tahun dan akan di
rayakan di sebuah bar di bilangan Menteng, Jakarta Pusat.
Bermusik dengan beragam genre menjadikan Rival kaya pengalaman dan
pertemanan. Proyek bermusik dengan banyak musisi itu tak saja melahirkan pujian
tetapi juga kritikan. Ini soal siasat bertahan di tengah industri kreatif. Bagi
saya tentu tak soal, karena sisi positif dari situasi itu adalah referensi dan
penjiwaan. Apalagi Rival yang awalnya lebih duluan mengenal rock dibanding reggae
yang membentuk karakternya bermusik. Di panggung mini di bar itu, Rival jam
session dengan Coki, Ariyo Wahab dan kawan sebandnya di FOS Nation. Hard to
Handle milik Black Crowes memecah suasana bar. Gelas-gelas bir berdenting.
Jam 11 malam. Acara bubar. Sebelum kami berpisah, Rival memberitahu
single Reggae Music (merindukanmu) sudah diputar di beberapa radio di beberapa
kota di Indonesia. Informasi itu dia dapatkan dari pemberitahuan-pemberitahuan
di media sosial.
Akhirnya, saya bersyukur pada apa yang Rival
alami sampai pada saat kami bertemu saat itu, karena saya membayangkan mengalami
hal serupa yang dialami siapapun: proses.