Apa yang menarik dari sebuah kota? salah satu yang cukup penting buat saya adalah warung kopi (warkop). Bukan cuma karena saya memang penikmat minuman itu, tapi juga soal bahwa ada sesuatu yang memang menarik dari sana, membaca kota.
Meulaboh sebulan pasca tsunami. Pasar tradisional dan warkop, dua penanda kota itu, memberi kesan optimisme baru bahwa sebuah kota siap bergegas bersama bantuan kemanusiaan, dan para bule-bule dan pribumi pegiat ngo, aparat, dan warga lokal yang asyik bercengkerama dalam teguk kopi pekat Aceh yang khas. Sekalipun saya sempat juga membaca sinisme soal itu didinding sebuah gedung kantor yang kotor: kebiasaan nongkrong diwarkop adalah tidak baik, sebuah kemalasan, dan kemurkaan datang memperingati dengan wajahnya yang seram.
Belum terlalu lama sebuah stasiun tv menayangkan featurenya yang menarik tentang warkop enak di Pematang Siantar. Ada pelanggan setianya yang sudah mengunjungi warkop itu kurang lebih 20an tahun. Hmmm... saya juga ingat kopi cete di Tulungagung -air kopi yang dibatik ke batangan rokok kretek. Minumnya dengan piring cangkir dan bukan dengan cangkirnya. di Jogja kopi yang tradisional itu bisa dinikmati di warung-warung sego kucing. Ada yang sambil baca-baca dengan lampu minyak, yang diskusi, yang bicara dari tentang negara, kuliah sampai indekost. Yang sedikit berkantong tebal bisa ke kafe waralaba yang buka dikota-kota besar. Di Jakarta atau Bandung situasi-situasi diawal tulisan ini masih bisa didapatkan kebanyakan hanya dipasar-pasar tradisional. Di periphery. Kalaupun ada aktivitas bisnis yang melibatkan kopi dipusat, besar kemungkinan sajiannya instan -bukan kopi olahan, yang dinikmati oleh kebanyakannya para sopir angkutan umum, satpam, tukang parkir.
Lalu soal warkop di Palu. Saya menuju Maesa (10/01/07). Nama warkop itu Kurnia. Kata pramusajinya belum lama berdiri. Baru setahun lebih katanya. Saya memesan Black Coffee. Cuma ada dua model saji kopi disini. Dan hampir seluruhnya warkop begitu. Kopi atau kopi susu. Keduanya panas. Keduanya disaring. Tanpa ampas. Kedua-duanya dituang kedalam cangkir bening ceper yang klasik, Duralex. Menu lain nasi kuning, roti bakar atau telur rebus setengah matang. "Adam Air di Wentira" seorang bapak dengan kemeja biru khas instansi perhubungan dengan nada datar. Tak ditanya, tak ada yang sapa, informasi itu membuat si bapak jadi perhatian sejak masuk. Langsung menuju toilet dan setelah itu duduk. Kopi susu dan sepotong roti bakar diantar pramusaji. Sempat juga heran, padahal sebelumnya tak ada pemesanan. Belakangan saya sadar lalu yakin orang ini pelanggan setia. Saat itu jam 10 siang. Hmmm...
Diseberang meja sekelompok yang lain mengobrol hangat. Saya nguping. Soal proyek bangunan. Mungkin developer. Tapi sesekali perbincangan loncat ke kasus judi anggota DPRD Kota, belok ke selingkuh si ini dengan si itu.
Yang menarik disana soal diskusi imajiner. Ada banyak lontaran "kalo saya" yang dipakai berganti-ganti. Dari soal politik nasional hingga lokal dan aktornya, cerita-cerita selebritis, sampai yang macam kepala dinas, staf kantoran, atau orang-perorang yang sama sekali tidak saya kenal dilakoni. Sesekali dibuat monolog seolah-olah memang sedang terjadi dialog. Bahan obrolan juga bisa datang dari koran lokal yang disediakan pemilik warkop.
Kawan saya pernah menjelaskan soal pemetaan pengunjung warkop. Yang di Setiabudi itu sedikit elit. Pagi disana dikunjungi oleh beberapa orang penting di lembaga eksekutif, pengusaha media, atau beberapa kontraktor dengan nilai borongan yang juga elit. Di Maesa tempat yang saya kunjungi itu banyak oleh pegawai kantoran dan unidentified macam saya. Diseberang, tempat warkop-warkop tua kebanyakan biasanya dikunjungi pedagang-pedagang yang usahanya dekat dengan warkop-warkop itu. Mereka kebanyakan berdarah Tionghoa, India, Bugis. yang di Besusu, biasanya oleh para legislator. Konon banyak politisi-politisi formal sebelumnya informal dulu diwarkop. Semacam pra kawah candradimuka.
Kopinya? enak! diolah sendiri, kata seorang pemilik kopi diseberang. Dari mana asal biji kopinya? dia tak menjawab. Saya masuk ke dua pasar induk. yang punya stok banyak di Manonda. Pasok kopi kesini banyaknya dari dataran Gimpu dan Kulawi, kata penjualnya. Saya tanya jenisnya. Tak tahu. Tapi sepertinya Arabika. Bijinya pipih kecil. Tapi kualitasnya sepertinya kurang. Dipetik waktu cangkang bijinya belum berwarna merah (red crimson). Mungkin karena petani ingin cepat-cepat panen. Biji kopi dari Napu juga bagus kata banyak orang yang saya tanya. Tapi itu jaman perusahaan perkebunan Hasfarm. Sekilo? 14 ribu. Harga naik cepat dari sekilo 11 ribu. "Pembeli dari Banjarmasin beli banyak dari sini (baca: Palu)"
Saya beli seliter. dicuci, jemur, disongara, digrinder. Diseduh dengan air panas dan gula pasir, jadilah kopi tubruk. Uenak. Buka warkop juga nih...
Meulaboh sebulan pasca tsunami. Pasar tradisional dan warkop, dua penanda kota itu, memberi kesan optimisme baru bahwa sebuah kota siap bergegas bersama bantuan kemanusiaan, dan para bule-bule dan pribumi pegiat ngo, aparat, dan warga lokal yang asyik bercengkerama dalam teguk kopi pekat Aceh yang khas. Sekalipun saya sempat juga membaca sinisme soal itu didinding sebuah gedung kantor yang kotor: kebiasaan nongkrong diwarkop adalah tidak baik, sebuah kemalasan, dan kemurkaan datang memperingati dengan wajahnya yang seram.
Belum terlalu lama sebuah stasiun tv menayangkan featurenya yang menarik tentang warkop enak di Pematang Siantar. Ada pelanggan setianya yang sudah mengunjungi warkop itu kurang lebih 20an tahun. Hmmm... saya juga ingat kopi cete di Tulungagung -air kopi yang dibatik ke batangan rokok kretek. Minumnya dengan piring cangkir dan bukan dengan cangkirnya. di Jogja kopi yang tradisional itu bisa dinikmati di warung-warung sego kucing. Ada yang sambil baca-baca dengan lampu minyak, yang diskusi, yang bicara dari tentang negara, kuliah sampai indekost. Yang sedikit berkantong tebal bisa ke kafe waralaba yang buka dikota-kota besar. Di Jakarta atau Bandung situasi-situasi diawal tulisan ini masih bisa didapatkan kebanyakan hanya dipasar-pasar tradisional. Di periphery. Kalaupun ada aktivitas bisnis yang melibatkan kopi dipusat, besar kemungkinan sajiannya instan -bukan kopi olahan, yang dinikmati oleh kebanyakannya para sopir angkutan umum, satpam, tukang parkir.
Lalu soal warkop di Palu. Saya menuju Maesa (10/01/07). Nama warkop itu Kurnia. Kata pramusajinya belum lama berdiri. Baru setahun lebih katanya. Saya memesan Black Coffee. Cuma ada dua model saji kopi disini. Dan hampir seluruhnya warkop begitu. Kopi atau kopi susu. Keduanya panas. Keduanya disaring. Tanpa ampas. Kedua-duanya dituang kedalam cangkir bening ceper yang klasik, Duralex. Menu lain nasi kuning, roti bakar atau telur rebus setengah matang. "Adam Air di Wentira" seorang bapak dengan kemeja biru khas instansi perhubungan dengan nada datar. Tak ditanya, tak ada yang sapa, informasi itu membuat si bapak jadi perhatian sejak masuk. Langsung menuju toilet dan setelah itu duduk. Kopi susu dan sepotong roti bakar diantar pramusaji. Sempat juga heran, padahal sebelumnya tak ada pemesanan. Belakangan saya sadar lalu yakin orang ini pelanggan setia. Saat itu jam 10 siang. Hmmm...
Diseberang meja sekelompok yang lain mengobrol hangat. Saya nguping. Soal proyek bangunan. Mungkin developer. Tapi sesekali perbincangan loncat ke kasus judi anggota DPRD Kota, belok ke selingkuh si ini dengan si itu.
Yang menarik disana soal diskusi imajiner. Ada banyak lontaran "kalo saya" yang dipakai berganti-ganti. Dari soal politik nasional hingga lokal dan aktornya, cerita-cerita selebritis, sampai yang macam kepala dinas, staf kantoran, atau orang-perorang yang sama sekali tidak saya kenal dilakoni. Sesekali dibuat monolog seolah-olah memang sedang terjadi dialog. Bahan obrolan juga bisa datang dari koran lokal yang disediakan pemilik warkop.
Kawan saya pernah menjelaskan soal pemetaan pengunjung warkop. Yang di Setiabudi itu sedikit elit. Pagi disana dikunjungi oleh beberapa orang penting di lembaga eksekutif, pengusaha media, atau beberapa kontraktor dengan nilai borongan yang juga elit. Di Maesa tempat yang saya kunjungi itu banyak oleh pegawai kantoran dan unidentified macam saya. Diseberang, tempat warkop-warkop tua kebanyakan biasanya dikunjungi pedagang-pedagang yang usahanya dekat dengan warkop-warkop itu. Mereka kebanyakan berdarah Tionghoa, India, Bugis. yang di Besusu, biasanya oleh para legislator. Konon banyak politisi-politisi formal sebelumnya informal dulu diwarkop. Semacam pra kawah candradimuka.
Kopinya? enak! diolah sendiri, kata seorang pemilik kopi diseberang. Dari mana asal biji kopinya? dia tak menjawab. Saya masuk ke dua pasar induk. yang punya stok banyak di Manonda. Pasok kopi kesini banyaknya dari dataran Gimpu dan Kulawi, kata penjualnya. Saya tanya jenisnya. Tak tahu. Tapi sepertinya Arabika. Bijinya pipih kecil. Tapi kualitasnya sepertinya kurang. Dipetik waktu cangkang bijinya belum berwarna merah (red crimson). Mungkin karena petani ingin cepat-cepat panen. Biji kopi dari Napu juga bagus kata banyak orang yang saya tanya. Tapi itu jaman perusahaan perkebunan Hasfarm. Sekilo? 14 ribu. Harga naik cepat dari sekilo 11 ribu. "Pembeli dari Banjarmasin beli banyak dari sini (baca: Palu)"
Saya beli seliter. dicuci, jemur, disongara, digrinder. Diseduh dengan air panas dan gula pasir, jadilah kopi tubruk. Uenak. Buka warkop juga nih...
Foto: radified.com
No comments:
Post a Comment
Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya