Negara, lewat agen-agen birokrasinya, sesekali suka bolos dikota ini. Kira-kira sejak jam 18.00 sampai 22.00 (12/12/06) listrik padam. Tidak disemua rumah-rumah dikota ini, mungkin. Beberapa orang mengiyakan. Dan biasanya memang selalu begitu. Sebelumnya (08/12/06) juga sama. Listrik dipadamkan. Ada kisaran 4 hari untuk urusan ini negara hadir dan lalu bolos lagi. Seperti ketika kota-kota besar lainnya yang pasokan listriknya suka ngadat karena berbagai alasan. Rusak pembangkit, atau pasokan minyak dari Pertamina -juga agen negara ini, telat datang. Ngelesnya kadang "technical erorr" Lalu ada pembagian serupa jatah untuk wilayah tertentu yang harus dimenangkan dan yang lainnya dibuat sebaliknya. "katanya pltd-nya rusak" seseorang lain menambahkan. Lalu, "dulu ada bantuan asing untuk mesin pembangkit tenaga air. Mau ditaruh disalah satu danau, warga sekitar danau diadvokasi untuk menolak. Bantuan mesin pindah ke tetangga di selatan."
"?"
Bolos, dan itu artinya warga harus punya bujet lebih untuk menyediakan lilin yang mudah-mudahan tidak dikelola negara menjadi bumn baru, menjadi, misalnya, perusahaan lilin negara. Juga harus saving dimasa depan untuk keperluan servis barang elektronik rumahan yang, konon, bakal rusak dikemudian hari karena sedang on dan lalu off mendadak gara-gara listrik mati. Lifetime elektronik di remisi negara yang sesekali bolos ini. Saya tidak tahu dengan yang sekelas pabrik atau kantor yang lembur, bagaimana kalkulasi ruginya waktu lampu mati dan mesin mati, komputer, printer, mati.
Karena bolos artinya kurang lebih tidak hadir tanpa konfirmasi, atau hadir lalu pergi diam-diam, seorang penjaga warnet yang saya tanya waktu online setelah listrik hidup bilang, "te ada pemberitahuan"
Saya jadi ingat jaman sekolahan. Kalau murid bolos lebih dari ketentuan sekolah, konsekuensinya sang murid dikeluarkan atau tidak naik kelas saat rapor dibagikan. Terus, bagaimana kalau negara yang bolos?
Good newsnya mungkin tidak akan lama lagi, kabarnya Januari, kata seseorang, sebuah pembangkit listrik akan segera diresmikan. Oleh RI 1. "Hmmm..."
Lainnya, saya bisa enreyen dvd player yang baru saya beli sesaat sebelum listrik mati dan memutar cakram dvd bajakan konser U2 di Boston. Sepenggal lirik Bob Marley dinyanyikan lantang Bono dikonser itu, "get up stand up, stand up for your rights, get up stand up, dont give up the fights." Saya membayangkan sesuatu. Didalam sebuah kelas dan seluruh murid beraksi. Gara-garanya gurunya yang suka bolos. Hmmm...
Foto: NeMu (Balai Desa Biromaru)
"?"
Bolos, dan itu artinya warga harus punya bujet lebih untuk menyediakan lilin yang mudah-mudahan tidak dikelola negara menjadi bumn baru, menjadi, misalnya, perusahaan lilin negara. Juga harus saving dimasa depan untuk keperluan servis barang elektronik rumahan yang, konon, bakal rusak dikemudian hari karena sedang on dan lalu off mendadak gara-gara listrik mati. Lifetime elektronik di remisi negara yang sesekali bolos ini. Saya tidak tahu dengan yang sekelas pabrik atau kantor yang lembur, bagaimana kalkulasi ruginya waktu lampu mati dan mesin mati, komputer, printer, mati.
Karena bolos artinya kurang lebih tidak hadir tanpa konfirmasi, atau hadir lalu pergi diam-diam, seorang penjaga warnet yang saya tanya waktu online setelah listrik hidup bilang, "te ada pemberitahuan"
Saya jadi ingat jaman sekolahan. Kalau murid bolos lebih dari ketentuan sekolah, konsekuensinya sang murid dikeluarkan atau tidak naik kelas saat rapor dibagikan. Terus, bagaimana kalau negara yang bolos?
Good newsnya mungkin tidak akan lama lagi, kabarnya Januari, kata seseorang, sebuah pembangkit listrik akan segera diresmikan. Oleh RI 1. "Hmmm..."
Lainnya, saya bisa enreyen dvd player yang baru saya beli sesaat sebelum listrik mati dan memutar cakram dvd bajakan konser U2 di Boston. Sepenggal lirik Bob Marley dinyanyikan lantang Bono dikonser itu, "get up stand up, stand up for your rights, get up stand up, dont give up the fights." Saya membayangkan sesuatu. Didalam sebuah kelas dan seluruh murid beraksi. Gara-garanya gurunya yang suka bolos. Hmmm...
Foto: NeMu (Balai Desa Biromaru)
Apapun yang terjadi di internal PT PLN (Persero) masyarakat
ReplyDeletepelanggan seperti tak pernah mau tahu. Buktinya, setelah banyak diterangkan di
media-media massa, mulai dari devisit supplay pembangkit yang tak lagi seimbang
dengan total kebutuhan peak pelanggan rumah tangga, pemerintah, swasta, sosial
dan industri, tuntutan "listrik harus hidup terus" makin gencar dikumandangkan.
Alhasil, walau PT PLN (Persero) sendiri dengan beragam unit kerjanya
telah bekerja seoptimal mungkin dengan konsekuensi, misalnya pemadaman di
beberapa titik di waktu beban puncak (18.00 WIB - 22.00 WIB) membuat masyarakat
resah dan bahkan memaki-maki. Tentunya, kepahaman masyarakat akan PLN saat ini
tak sebanding lagi dengan need akan aliran listrik yang serta-merta
menghidupkan semua peralatan rumah tangga, industri, peralatan kerja hingga
penghematan bagi industri.
Penghematan? Ya, justru dengan menggunakan energi listrik dari PLN lah
industri kini berhemat di cost produksinya. Sebab, secara hitungan kasar,
industri akan mengeluarkan biaya besar jika harus menggunakan pembangkit
listrik sendiri. Selain biaya BBM pembangkit yang mahal dan akan naik sebentar
lagi, juga biaya investasi dan perawatannya yang sangat tinggi pula.
Itu sebabnya, pihak industri akan merasa sangat dirugikan jika PLN
mematikan aliran listriknya di saat Waktu Beban Puncak (WBP) yang saat itu
industri tengah menjalankan produksi barang dan jasanya. Seketika pula jika
terjadi pemadaman, PT PLN (Persero) mendapat tuntutan dari masyarakat
sampai-sampai diharuskan mengganti nominal kerugian yang diakibatkan pemadaman
listrik.
Direktur Transmisi dan Distribusi PT PLN (Persero), Dr. Herman Darnel
Ibrahim menyebut PLN saat ini justru melakukan kampanye terbalik. Sebagai
pemasok listrik bagi kebutuhan publik, in fact, PLN harusnya membuka jalan
selebar-lebarnya bagi pelanggan untuk menggunakan, menambah sampai
menghambur-hamburkan energi listrik.
Sebab, secara hukum dasar ekonomi, keuntungan didapat dari margin
penjualan dikurangi cost produksi. Tetapi, di PLN saat ini justru yang terjadi
sebaliknya. Bahkan, di Padang beberapa waktu lalu dilakukan kampanye hemat
energi, termasuk penggunaan energi listrik berlebihan tentunya.
Nah, lo. Kok terbalik? Kok dihemat?
Jawabannya, untuk cost produksi PLN saat ini saja sudah harus disubsidi.
Subsidi pun tak tanggung-tanggung, triliunan rupiah per tahunnya. Sebab,
sebagian besar pembangkit masih menggunakan pembangkitan dengan energi dasar
BBM. BBM ini sendiri, di pertengahan semester awal 2005 telah dinaikkan
harganya, sementara tarif dasar listrik (TDL) tak naik-naik.
BBM naik, otomatis kenaikan ongkos produksi per KWH listrik yang
digunakan oleh konsumen. Kian besar energi listrik yang digunakan publik, maka
makin besar pula beban yang ditanggung PLN untuk mensubsidi tiap KWH energi
listrik yang disalurkan. Inilah makanya, PLN kini melakukan promosi terbalik,
hemat energi.
Belum lagi persoalan perawatan dan perencanaan pemeliharaan sistem
transmisi, distribusi sampai penyaluran ke konsumen. Biaya-biaya maintenance
peralatan yang semuanya diinvestasikan dalam hutang dengan nominal dollar.
Jelas, PLN kini kian terbungkuk.
Nah, meski rencana pendirian pembangkit non BBM kini digemborkan PLN,
tetap saja akan kesulitan sebab pendanaan kini dapat dikatakan fokus pada
subsidi pelanggan. Belum lagi rencana kenaikan BBM yang lebih dari 50 persen,
per Oktober mendatang. Makin sulitlah PLN mengatasi keseimbangan cost produksi
dengan pendapatan asal rekening konsumennya.
Makin besar selisih cost produksi dengan pendapatan, akan menjadikan PLN
menggantang kerugian yang lebih besar lagi. Tentunya, perusahaan negara dengan
catatan kerugian akan kembali memberatkan kepada negara yang notabene ke beban
publik sebagai sumber pendanaan negara.
Alhasil, mata rantai rugi PLN ini harus cepat diatasi. Caranya, tentu
dengan win-win sollution, antara PLN dengan pelanggannya. Yang pasti, pengguna
harus paham dengan kesulitan PLN saat ini. PLN pun sebagai pemegang otoritas
kendali energi listrik, jika tidak bisa dibilang monopoli, harus juga gencar
memberikan pengertian kepada pengguna jasanya ini.
Hal yang terbaik saat ini, adalah PLN melakukan revisi Tarif Dasar
Listrik (TDL) yang tetap berpihak kepada masyarakat banyak. Jumlah pengguna
listrik rumah tangga yang cukup besar, meski secara kuantitas jumlah pemakaian
tak mendominasi sama sekali tetap harus diperjuangkan. Subsidi terutama harus
diarahkan kepada masyarakat dengan pengguna listrik minim, seperti kelas R-1
450 dan R-1 900.
Pemahaman masyarakat akan kesulitan PLN saat ini tentunya tak akan sampai
pada kemahfuman bahwa PLN perlu ditenggang dengan byar-pet nya lampu-lampu
penerangan masyarakat.
Sebab, secara psikologis pengguna listrik adalah konsumen yang merasa
telah membayar untuk layanan maksimal tanpa mau tahu dengan kondisi internal
pengelolaan listrik di PLN. Ketidakmautahuan ini meski belum bisa disebut
apatisme murni, perlu disikapi dengan cepat dan tanggap.
Beban mental publik, bulan-bulan ke depan akan semakin berat. BBM yang
naik membuat mobilitas masyarakat menjadi berbiaya tinggi. harga kebutuhan
pokok pun akan meningkat drastis.
Yang pasti, masyarakat kelas menengah ke bawah akan terpekik. Buktinya,
belum lagi BBM betul-betul dinaikkan minyak tanah sudah mulai langka di
pasaran. Antrian BBM puluhan kilometer dan berhari-haru terjadi.
Nah, jika kemudian PLN menyesuaikan tarif dan sempat pula mengenai
masyarakat pengguna level bawah (kategori rumah tangga kecil) akan bertambahlah
kesusahan mereka. Bertambahlah kegundahan dan tangisan kesengsaraan akibat
beban mental harus memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari yang berbiaya
tinggi.
Jika mungkin, pemerintah harus cepat melihat sisi-sisi pembiayaan ekonomi
kelistrikan ini. PLN boleh saja menyesuaikan TDL, tetapi tentunya ada
penyesuaian dan empati publik pada konsumen level rendah rumah tangga.
Pemerintah, dengan kebijakan subsidi BBM-nya pun harus arif membagi anggaran
kepada keringanan pembayaran rekening masyarakat menengah ke bawah.