Thursday, July 22, 2010

Voorrijder

Pak SBY yang kami hormati, mohon pindah ke Istana Negara sebagai tempat kediaman resmi presiden. Betapa kami saban hari sengsara setiap Anda dan keluarga keluar dari rumah di Cikeas. Cibubur hanya lancar buat Presiden dan keluarga, tidak untuk kebanyakan warga.

HENDRA NS
Cibubur


(Lebih lengkap baca http://www.radenz.com/2010/07/isi-surat-trauma-patwal-presiden-hendra-ns.html atau http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/07/16/59895/Presiden-akan-Tindak-Tegas-Patwal-Presiden)

Saya tidak sampai trauma seperti Hendra NS yang paragraf akhir surat pembacanya saya kutip sebagai pembuka tulisan ini. Surat pembaca yang terbit di harian Kompas (16/07/10) itu memantik perhatian Presiden SBY yang kemudian meminta maaf.


Saya tidak sampai trauma. Saya hanya sempat membayangkan enaknya jadi orang penting ketika berada di jalan raya. Kemana-mana lancar. Voorijder alias patroli pengawal zig-zag di depan menyisir bahu jalan.


Kebetulan terjadi pada saya (18/07/10), ketika harus mematuhi perintah seorang polisi mematikan motor di tengah jalan selama kurang lebih 30an menit –dan kendaraan-kendaraan lainnya yang ada di situ tentu saja. "Istri Wapres Boediono, Ibu Herawati," kata pak polisi di depan saya, melintas dari arah utara jalan Moh. Yamin (Jalur Dua) menuju ke Gedung Siranindi, tempat istirahat tamu-tamu penting daerah. Kala itu banyak vip (very important person) dan vvip (very-very) mondar-mandir di kota dengan pengawalan dan bunyi sirene jauh terdengar dimana-mana untuk acara Hari Keluarga Nasional (Harganas).


Saya mengabadikan momen dalam hitungan detik itu dengan kamera.


Mungkin ini memang bagian dari kebijakan protokoler terhadap orang-orang dalam kategori penting atau sangat penting. Tapi haruskah, misalnya, meminta pengertian orang-orang lain dalam kategori tidak atau kurang penting atau sangat tidak atau kurang penting?


Masih segar dalam ingatan ketika saya SD (1990) menunggu hampir setengah hari dengan bendera mini dari lidi dan kertas minyak merah putih yang dilambaikan dari pagi di jalan yang sama, Presiden Soeharto melintas dari Kapopo, Ngata Baru, setelah meresmikan penghijauan disana. Di absen. Itu artinya wajib. Hmmm....


Dalam sedan bening yang kaca-kacanya gelap, pak presiden melaju kencang. Tak ada lambaian tangan balasan, hahaha....


Cara-cara soft buat pelajar begini rasanya sudah tidak digunakan lagi. Tapi sebagai tuan rumah yang baik, siang itu saya mencoba memahami dan mematikan motor. Beberapa orang di belakang saya menggerutu kesal.


No comments:

Post a Comment

Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya

Postingan Sebelumnya..